
CSRINDONESIA – Tonny Hendro Kusumo berdiri di hadapan para pelaku industri di Jakarta International Convention Center, pertengahan September 2025. Suasana ruang konferensi masih terasa meski acara puncak telah lewat. Dalam keynote speech-nya, ia tidak sekadar menyajikan data, tetapi lebih seperti membacakan diagnosa atas kondisi industri Indonesia yang sedang demam.
“Operasional yang terfragmentasi, lonjakan permintaan energi yang memicu emisi, dan tekanan dari investor serta konsumen untuk berpraktik lebih hijau,” ujarnya, menyebutkan gejala-gejala yang akrab didengar namun seringkali diabaikan.
Baginya, demam ini bukanlah akhir. Justru sebuah pintu menuju kesembuhan. Tantangannya nyata, peluangnya bahkan lebih besar.
Data Sustainability Survey 2024 yang diungkapkannya memperkuat kegelisahan itu. Lebih dari separuh perusahaan di Indonesia, tepatnya 52%, mengakui perubahan iklim sebagai risiko signifikan. Hampir setengahnya, 47%, mengalami gangguan rantai pasok terkait iklim dalam setahun terakhir. Di sisi lain, nafsu dunia akan digitalisasi dan kecerdasan buatan memproyeksikan konsumsi energi melonjak 4.2 kali lipat antara 2023 dan 2028. Sebuah fakta mencengangkan, satu permintaan ke ChatGPT saja menghabiskan energi sepuluh kali lipat dari satu pencarian di Google.
“Tapi, data yang sama memberitahu kita bahwa hingga 70% emisi CO2 bisa dihilangkan dengan teknologi yang sudah ada hari ini,” tegas Tonny, mengutip kajian Schneider Electric Sustainability Research Institute. “Soalnya terletak pada integrasi yang tepat.”
Jawaban atas “soal” itulah yang coba ditunjukkan Schneider Electric, sang pemimpin transformasi digital dalam pengelolaan energi dan otomasi, sepanjang partisipasinya di Indonesia 4.0 Conference & Expo 2025. Jawaban itu bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang sudah berdenyut di dua pabrik cerdasnya di Cikarang dan Batam.

Kisah Dua Pabrik yang Hidup
Pabrik di Batam adalah cerita sukses yang telah diakui dunia. Ditahbiskan World Economic Forum sebagai Global Lighthouse, pabrik ini adalah bukti nyata bahwa efisiensi dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan. Melalui penerapan platform EcoStruxure, sebuah sistem saraf digital berbasis IoT yang menghubungkan lantai produksi hingga awan, pabrik itu mengalami transformasi luar biasa.
Produktivitasnya melesat 35%. Konsumsi energinya menyusut 37%. Yang lebih penting, emisi karbon berhasil ditekan hingga 1.002 ton. Limbah material dipangkas lebih dari separuhnya, 54%, dan emisi CO2 di rantai pasok utamanya berkurang 42%.
Sementara di Cikarang, ceritanya diperkaya dengan elektrifikasi. EcoStruxure dipadukan dengan instalasi panel surya yang mampu menghasilkan 200 kWp energi terbarukan setiap tahun. Hasilnya, pengurangan emisi karbon 181 ton per tahun dan penghematan energi mencapai 6.935 kWh.
Kedua pabrik ini bukan lagi sekadar bangunan beton dan mesin. Mereka adalah entitas yang bernapas dengan data, berbicara melalui algoritma, dan aktif menyembuhkan bumi dengan setiap kilowatt-hour yang dihemat.
