Home Hukum Sanksi Instan untuk Wartawan, Maaf Instan untuk Publik

Sanksi Instan untuk Wartawan, Maaf Instan untuk Publik

22
Jajaran Redaksi CNN Indonesia menemui Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/9). (Foto: arsip foto CNN Indonesia)
Jajaran Redaksi CNN Indonesia menemui Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/9). (Foto: arsip foto CNN Indonesia)

Sanksi Instan untuk Wartawan, Maaf Instan untuk Publik

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

 

Disangka BPMI Sekretariat Presiden Lakukan Skak Mat, Ternyata Malah Salah Langkah. Akhirnya Kartu Liputan Istana Wartawan CNN Indonesia Dikembalikan dan Mereka Meminta Maaf

Kartu identitas pers berwarna biru itu akhirnya kembali ke pemiliknya. Diana Valencia, jurnalis CNN Indonesia, bisa menghela napas lega. Tiga hari setelah Kartu Pers Istana miliknya dicabut secara mendadak oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden, aksesnya untuk meliput di istana dipulihkan.
“Alhamdulillah, pagi ini saya sudah bisa mengambil ID Pers saya,” ujar Diana, seperti dikutip media, suaranya terdengar lega namun masih menyisakan sebentuk keheranan.
Kisah pencabutan itu bermula pada sebuah Sabtu malam, 27 September 2025. Sebuah panggilan telepon dari BPMI menyatakan kartunya tidak lagi berlaku. Alasannya karena,Diana Valencia dianggap i luar konteks melontarkan pertanyaan soal permasalahan MBG ke Presiden Prabowo Subianto yang baru saja menyelesaikan lawatannya di sejumlah negara.
Namun, tindakan BPMI itu bagai melemparkan batu ke sarang lebah. Dunia pers nasional bergemuruh. Organisasi profesi dan rekan-rekan jurnalis mengecamnya sebagai tindakan semena-mena dan tidak proporsional. Tekanan publik membesar, memaksa BPMI untuk berbalik haluan.
Di bawah sorotan yang menyilaukan, Kepala BPMI, Dina Kania, mengangkat tangan. Dalam pernyataan resminya, dia menyampaikan “permohonan maaf yang sebesar-besarnya” kepada sang wartawan dan semua rekan media. Janji pun diucapkan, “Kami pastikan ke depan hal ini tidak akan terulang lagi,” katanya kepada media.
Kebijakan Menggelikan dan Siklus Malu yang Terus Berulang
Apa yang terjadi dengan Diana Valencia bukanlah sekadar salah paham prosedur. Ini adalah potret nyata dari sebuah biro pers negara yang terjebak dalam logika kekuasaan yang rapuh dan kebijakan yang menggelikan.
Pertama, klaim pencabutan kartu liputan wartawan CNN Indonesia dengan alasan pertanyaan di luar agenda Presiden tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini menghalangi tugas jurnalistik serta menghalangi kebebasan pers. Karena masalah tersebut memang berada di bawah wewenang Presiden dan tengah menjadi perhatian masyarakat.
Kedua, pola tindaknya menunjukkan ketiadaan nalar yang profesional. BPMI bertindak layaknya moderator media sosial yang emosional, bukan sebagai institusi humas kenegaraan. Hukuman berat langsung dijatuhkan tanpa proses klarifikasi, tanpa dialog, seolah mereka adalah hakim yang tak terbantahkan. Respon pertama mereka adalah mencabut, memutus, mengasingkan. Ini adalah refleks otoriter, bukan budaya demokratis.
Yang paling menggelikan, dan sekaligus memprihatinkan, adalah siklus yang tercipta. Tindakan represif diambil, publik marah, lalu permintaan maaf dikeluarkan di bawah tekanan. Ini adalah siklus malu yang terus berulang. Permintaan maaf itu kehilangan maknanya. Ia bukan lagi bentuk penyesalan, melainkan sekadar tombol ‘reset’ darurat yang ditekan setiap kali kebakaran publik terjadi.
Janji “tidak akan terulang” dari BPMI terdengar hollow, kosong. Janji itu sama kredibelnya dengan kebijakan mereka yang mencabut kartu liputan karena pertanyaan dianggap di luar agenda. Kepercayaan telah tercabik.
Pertanyaannya kini, sampai kapan kita akan menyaksikan sandiwara yang sama? Sampai kapan BPMI akan berperan sebagai ‘content cop’ yang galak, lalu berubah menjadi pemohon maaf yang manis ketika suara publik menggema? Kartu Diana sudah kembali, tetapi kebijakan yang menggelikan dan siklus malu itu masih menggantung, menunggu korban berikutnya. Tabik []