Home CSR Kementerian Kesehatan Diimbau Perhatikan Ekosistem Tembakau dalam Penyusunan PP Kesehatan

Kementerian Kesehatan Diimbau Perhatikan Ekosistem Tembakau dalam Penyusunan PP Kesehatan

44
Ilustrasi Industri Tembakau | pexels
Ilustrasi Industri Tembakau | pexels

CSRINDONESIA – Penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) turunan RUU Kesehatan terus didesak agar membuka pintu seluas-luasnya terhadap publik untuk memberikan masukan. Lantaran semenjak disahkan menjadi undang-undang Kesehatan pada 8 Agustus 2023, PP Kesehatan disinyalir minim keterbukaan informasi maupun substansinya. Akibat kurangnya keterbukaan informasi ini, sejumlah pihak berharap agar pembahasan regulasi ini juga mencerminkan kepentingan publik dan semua pihak.

Imbauan ini cukup beralasan karena pada awal penyusunan regulasi ini juga menghasilkan sejumlah pasal yang multitafsir dan menimbulkan polemik di publik, misalnya pasal terkait pertembakauan. Begitupun saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai pelaksana PP Kesehatan dinilai tidak transparan dalam menyelesaikan aturan turunan ini yang ditargetkan pada September 2023. 

Soal pasal tembakau saja, detail informasi soal Kemenkes akan memasukkan aturan soal larangan iklan, penjualan rokok batangan, sponsor produk tembakau, termasuk pengawasan kawasan tanpa rokok dalam kebijakan ini baru dapat diakses di akun @sebelahmata_cisdi. Menilai hal tersebut, menurut Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiyansah keterlibatan industri tembakau sangatlah penting dalam penyusunan regulasi ini. Pasalnya mereka adalah pihak yang berkepentingan terkait dengan dampak yang terjadi terhadap ekosistem tembakau nantinya. 

Dia menjelaskan, jika ingin mengurangi resistensi publik, tentu yang pertama harus dilakukan adalah melibatkan semua pemangku kepentingan terhadap perumusan kebijakan dalam RPP ini. “Pembahasannya cukup representatif saja, terwakili yang penting. Kalau untuk tembakau bisa dari asosiasinya,” ujar dia.

Padahal soal partisipasi publik, melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022, Presiden Jokowi pun berharap partisipasi masyarakat diperlukan dalam pembuatan undang-undang. Termasuk dalam perencanaan, persiapan, pembahasan, pengesahan atau keputusan, dan diundangkan. Seperti diketahui bersama, Kemenkes sendiri berencana menjadikan 108 Peraturan Pemerintah (PP) yang terpisah menjadi hanya satu PP, termasuk soal aturan tembakau. 

Terkait penyatuan ke dalam satu PP, Trubus pun mengimbau agar Kemenkes bisa membaginya ke beberapa klaster dan menempatkannya dengan tepat. Sederhananya aturan ini akan lebih mudah dipahami karena publik pun melihat dari sisi kemanfaatan dan kepentingannya tidak dirugikan.

“Dari 108 PP kalau dijadiin satu ya harusnya diklaster-klasterin. Mudahnya kalau memperoleh manfaat masyarakat akan dukung tapi kalau merugikan tentu akan protes,” jelasnya.

Sampai dengan saat ini Industri hasil tembakau (IHT) merupakan sektor penyumbang penerimaan negara terbesar lewat cukai. Kontribusi ini diperkuat melalui keberhasilan menyerap banyak tenaga kerja. Oleh karena itu, jika industri ini semakin ditekan melalui regulasi bisa saja akan ada beberapa daerah yang merugi, penerimaan negara berkurang, bahkan risiko meningkatnya pengangguran yang tinggi. 

Di tengah tekanan dari beberapa regulasi, hingga April 2023 IHT masih mencatatkan kontribusi cukai mencapai Rp 72,35 triliun, namun angka ini menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp76,29 triliun. Capaian ini cenderung berbanding terbalik dengan keinginan Pemerintah yang mematok target penerimaan cukai hasil tembakau atau CHT 2023 senilai Rp 232,5 triliun, meningkat dari kontribusi sepanjang 2022 yang mencapai Rp 218,62 triliun. 

Menanggapi hal tersebut, Ketua Kebijakan Publik DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana meminta sebaiknya Pemerintah dapat bersikap lebih bijak dengan tidak menyerahkan semua aturan IHT ini kepada Kemenkes.

Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri dan 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.

Ia menilai pendelegasian kebijakan IHT ini hanya akan membahayakan keberlangsungan industri ini dan semua ekosistem di dalamnya. Termasuk menjadikan kementerian tersebut mengabaikan kewenangan dan tupoksi kementerian lain. “Kemenkes tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengelola dampak pengaturan yang dikeluarkannya ini, setidaknya dampak kepada sistem perdagangan dan perindustrian, apalagi saat menyentuh persoalan ketenagakerjaan dan cukai pajak yang berlaku di Indonesia,” jelasnya saat dihubungi media beberapa waktu lalu. |WAW-CSRI