Tingkat konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia terus meningkat. Tahun 1999 tingkat konsumsi AMDK masih berkisar 2,4 miliar liter. Tahun 2010 naik menjadi 14,5 miliar liter. Tahun 2011 menjadi 15,8 miliar liter. Tahun 2012 naik terus hingga 19,8 miliar liter, dan tahun 2013 mencapai 21,78 miliar liter. Tingkat konsumsi meningkat sekitar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan air minum yang baik.
Jika harga rata-rata AMDK berbagai kemasan (galon, botol dan gelas) seribu rupiah (Rp. 1.000,-) per liter, maka omzet penjualan AMDK sepanjang 2013 lalu mencapai Rp 21,78 triliun. Angka itu belum termasuk nilai penjualan setelah dikemas dalam botol plastik polycarbonate. Sebab, setelah dikemas harganya bisa meningkat dua kali lipat atau lebih. Tahukah anda bahwa sekitar 40 persen dari total produksi nasional air mium alam kemasan dikonsumsi di Jabodetabek?
Menurut Asosisasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) saat ini ada 500 perusahaan AMDK di Indonesia, tapi hanya 183 perusahaan anggota ASPADIN, dengan 600 merek. Aqua, perusahaan AMDK di Indonesia, adalah merek AMDK terbesar di dunia. Pangsa pasar Aqua meliputi Singapura, Malaysia, Maladewa, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Di Indonesia, Aqua menguasi 80 persen AMDK 5 galon (19 liter). Untuk keseluruhan – galon dan kemasan botol plastik – market share Aqua mencapai 45 persen, 30 persen dikuasai Ades (milik Grup Coca Cola), Total (milik Grup Gudang Garam), Club, 2Tang, dan Oasis. Selebihnya, 25 persen miliki ratusan merek di seluruh Indonesia.
Pada 4 September 1998, Aqua (PT Aqua Golden Missisippi) beraliansi dengan DANONE GROUPE SA, perusahaan transnasional dari Prancis. Saat itu kepemilikan DANONE mencapai 40 persen. Tahun 2000, mereka meluncurkan produk AMDK berlabel Danone-Aqua. Produk ini mengubah sumber bahan baku Aqua dari sumur ke mata air pegunungan karena konon memiliki kandungan mineral cukup baik. Lalu, pada tahun 2001, Danone Group melalui Danone Asia Pte. Ltd yang bermarkas di Singapura, meningkatkan kepemilikan saham dari 40 persen menjadi 74 persen. Disinilah awal kisah penguasaan air Indonesia oleh Group Danone secara transnasional.
Menurut data 2011, dari total 8 milyar liter air yang diperdagangan oleh Group Danone per tahun, 5 milyar liter berasal dari Aqua (Indonesia). Kontribusi Evian – diproduksi di Prancis sejak 1789 – hanya 1,5 miliar liter per tahun. Namun berdasarkan sumber lain, produksi total group Danone mencapai 18 miliar liter, sedangkan Aqua sudah lebih dari 8 miliar liter. Danone memiliki 17 merek AMDK di seluruh dunia. Ketujuh belas merek itu adalah Evian (Internasional), Volvic (Internasional), Aqua (Indonesia), Badoît (France), La Salvetat (France), Mizone (China and Indonesia), Lanjarón (Spain), Font Vella (Spain), Fonter (Spain), Bonafont (Mexico), Hayat (Turkey), Villa del Sur (Argentina), Villavicencio (Argentina), Salus (Uruguay), Robust (China), Health (China), Zywiec Zdroj (Poland).
Setelah akuisisi 1998, Danone menjadi produsen AMDK kedua terbesar di dunia, setelah Nestle (merek Pure Life). Ranking 3 dan 4 masing-masing dipegang Coca Cola (Dasani) dan Pepsico (Aquafina). Tahun 2000 Coca Cola mengakusisi Ades. Sebelumnya Ades sudah listing di bursa melalui PT AdeS Alfindo Putrasetia Tbk, kini menjadi PT Akasha Wira International Tbk. Keduanya perpanjangan tangan joint venture global antara Coca Cola dan Nestle N.A. (Coca-Cola Nestle Refreshments Company). Setelah menguasai Ades, mereka membuat produk baru bernama Nestle “Pure Life” untuk pasar lokal dan internasional. Tujuannya untuk membendung ekspansi Aqua-Danone yang sekarang memiliki cadangan air mineral sangat besar di Indonesia.
Sejak April 2011, Aqua Golden Missisippi Tbk berubah menjadi perusahaan tertutup (go private), setelah Danone membeli seluruh saham minoritas (6,9%) dengan harga 500 ribu rupiah per lembar (harga nominal saat go publik thn 1991 hanya Rp. 1.000.- ). Sejak menjadi go private, informasi perusahaan/keuangan Aqua menjadi tertutup bagi publik. Aqua mengklaim telah memasarkan produknya ke beberapa nagara, antara lain Singapura, Malaysia, Maldives, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Tapi sampai sekarang tidak diketahu berapa volume dan nilai ekspornya.
Kini Aqua dan merek lainnya mendapat pesaing baru berupa Air Minum Isi Ulang (AMIU) yang harganya dipatok 3-5 ribu per 5 galon atau 19 liter. Sementara harga AMDK 5 galonan sekitar 9-15 ribu. Untuk menahan ekspansi AMIU, pihak AMDK melakukan kampanye negatif terhadap AMIU. Tapi di perkampungan atau kawasan sulit air bersih, akspansi AMIU tak terbendung, karena harganya murah. Pelopor AMIU di Indonesia adalah Slamet Utomo, salah seorang pendiri Aqua yang keluar saat Danone hendak mengakuisisi Aqua. Slamet Utomo mendirikan AMIU di bawah bendera PT Slamet Tirta Sembada dengan merek dagang “Agura”. Beberapa pemain AMIU yang tergolong besar sekarang ini antara lain Amira (didirikan oleh mantan karyawan Astra), Vinaqua seerta AG2.
Sampai saat ini belum dikatahu total produksi AMIU per tahun. Sebab, mereka belum memiliki asosiasi seperti ASPADIN. Tapi diduga angkanya sudah di atas 1 miliar liter per tahun. Seperti AMDK, industri AMIU yang menjamur sejak tahun 1998, juga sangat mudah perizinannya. Mereka cukup meminta izin kepada pemerintah tingkat kabupaten/kota. Bisnis AMDK dan AMIU sangat menarik karena ongkos produksinya murah tapi harga jual tinggi. Misalnya, Aqua Klaten membayar Rp. 2,75 kepada Pemda Klaten untuk setiap liter Aqua yang terjual.
Pada umumnya masyarakat Indonesia memanfatkan air permukaan (sungai dan danau) atau air bawah tanah dangkal (mata air dan sumur dangkal) untuk kebutuhan sehari-hari, mandi, minum dan mengairi sawah atau perkebunan. Sementara itu hampir 100 % industri AMDK dan AMIU menggunakan air tanah dalam yang didapat melalui pengeboran yang sangat dalam yang bisa mencapai 50-200 meter ke dalam tanah (sumur tertekan atau confined aquifer).
Walaupun berbeda sumber lapisan airnya, tapi jika penangkapan air oleh industry AMDK dan AMIU jika tidak dikontrol oleh pemerintah pusat maka pada waktunya nanti akan menimbulkan kekeringan di sumber air permukaan dan sumur dangkal yang biasa digunakan oleh masyarakan umum. Pada akhirnya menimbulkan krisis air di sektor pertanian (pangan). Di berbagai wilayah, masyarakat dan petani memprotes kehadiran pabrik-pabrik air minum kemasan yang dianggap menjadi penyebab krisis air di lingkungan mereka. Konflik horizontal pun bisa terjadi seperti di Padarincang, Serang.
Contoh nyata “penjarahan air” oleh perusahaan-perusahaan AMDK multi nasional dialami warga Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Sukabumi. Dua kecamatan yang diapit Gunung Salak, Gunung Panggrango dan Gunung Gede ini sesungguhnya sangat kaya cadangan air mineral. Karena itu di dua kecamatan ini berdiri banyak pabrik air minuman terkenal seperti Aqua (2 pabrik), Alto, 2 Tang, Kratingdaeng, Ale-Ale, Yakult, You C-1000, Pocari Sweat, Equil dan sebagainya. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Sukabumi, 156 perusahaan memanfaatkan sumber air di kabupaten itu.
Ratusan perusahaan itu tidak saja saling berkompetisi satu sama lain untuk menyedot air tanah, tapi juga bersaing dengan warga. Penyedotan air tanah secara besar-besaran menyebabkan warga sulit memperoleh air bersih untuk kebutuhan rumah tangga maupun pengairan sawah. Untuk air bersih, warga sekitar pabrik harus menggali sumur lebih dalam, dari 3 meter menjadi 10 meter, 18 meter, bahkan 40 meter. Karena sedikitnya pasokan air, para petani hanya bisa bertanam padi sekali setahun. Padahal dulu di musim kemarau pun sawah mereka tetap terairi sehingga dapat bertanam padi dua kali setahun. Semua gara-gara tak ada pembatasan kedalaman sumur-sumur bor industi AMDK.
Aturan main berupa perizinan, pengawasan dan kontribusi dari industry AMDK dan AMIU sangat longgar dan murah, sehingga tidak mengherankan sekarang ini ada ratusan merek AMDK dan AMIU di Indonesia yang tidak terekapitulasi oleh pemerintah pusat. Ratusan produsen AMDK itu sampai sekarang tidak terawasi dengan baik. Berapa debit air per hari yang diambil di sebuah pabrik, apakah pemerintah daerah sudah menaruh meteran air di pabrik itu, berapa rit angkutan truk yang keluar dari pabrik per hari? Semuanya tidak jelas.
Data-data terbuka mengenai total produksi setiap AMDK dan AMIU sejauh ini hanya diperolah dari merek Aqua, sebagai produsen AMDK terbesar. Itu pun bukan data dari instasi pemerintah, melaikan klaim sepihak dari ASPADIN, yang notabene disponsori Aqua. Data dari merek atau produsen lainnya sulit diperoleh, karena tidak dipublikasikan oleh perusahaan atau pemda selaku pemberi izin.
Repotnya proses perijinan usaha AMDK dan AMIU sebelum lahirnya UU Sumber Daya Air No.7 Tahun/2004 Tentang Sumber Daya Air sangat sederhana. Dalam hal ini investor cukup minta izin di tingkat pemda kabupaten di mana sumber air berada (IMB, Lokasi, Gangguan, dan Kesehatan). Soal retribusinya ke pihak ketiga (tingkat pemda hingga desa) cukup melalui Memorandum of Understanding. Bahkan ada pula investor yang cukup melalui kontrak dengan PDAM setempat (contohnya Pabrik Aqua di Subang dan Wanosobo). Selanjutntya PDAM itulah menyetor ke Pemda sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Setelah lahirnya UU Sumber Daya Air, pihak investor yang akan mengelola sumber daya air di daerah aliran sungai tertentu harus mendapatkan izin melalui pemerintah daerah setempat atas persetujuan Dewan Nasional Sumber Daya Air (Diketuai Menko Perekonomian dan Ketua Harian Menteri Pekerjaan Umum). Anggota DN-SDA ini 44 terdiri dari pejabat pemerintah, pakar dan LSM. Dengan demikian perizinan ke depan akan sangat sulit.
Masalahnya, industri AMDK dan AMIU berdiri dan tumbuh pesat sebelum lahirnya UU Sumber Daya Air No.7 tahun / 2004 tentang Sumber Daya Air, sehingga mereka sekarang sudah pada tahap eksploitasi. Contohnya, pabrik terakhir Aqua berada di Kebon Candi, Pasuruan, kapasitas produksi 600 juta liter per tahun, mulai produksi sejak tahun 2005. Jika dihitung mundur sejak perizinan dan pembangunan pabrik, maka perizinan sudah diperoleh sebelum UU SDA itu.
Sampai saat ini instansi induk industri AMDK dan AMIU tidak jelas. Padahal, bisnis ini terkait dengan kementerian ESDM, Peridustrian, Kehutanan, Pertanian, Kesehatan, Perdagangan, Keuangan. Karena air bersih sudah menjadi isu strategis, seharusnya ada Kementerian induk industri ini. Ketidakjelasan itu menyebabkan tak ada satu pun instansi pusat yang memiliki data lengkap tentang AMDK dan AMIU (nama perusahaan, lokasi, kapasitas produksi, penanggung jawab, dsb). Akibatnya pemerintah pusat sulit mengawasi dari segi pelestarian lingkungan, distribusian air dan irigasi, pemeliharaan infrastruktur jalan, dan sebagainya.
Ketidakjelasan itu juga menyebabkan pemerintah pusat sulit mengambil keuntungan finansial dari bisnis AMDK dan AMIU. Padahal bisnis ini memiliki potensi ekonomi sangat tinggi. Sebab, selain punya pasar luas di dalam negeri, AMDK juga bisa diekspor dalam jumlah besar. Saat ini, perusahaan AMDK dan AMIU –termasuk perusahaan sekelas Aqua– hanya membayar Pajak Air Tanah dan retribusi (bangunan, lokasi usaha, dsb) kepada pemerintah daerah dengan nilai sangat kecil. Karena tak ada informasi cukup, industri AMDK dan AMIU menjadi lahan yang subur bagi koruptor di tingkat daerah. Sementara itu, penguasaan sumber daya air oleh perusahaan multinasional sesungguhnya adalah sebuah penggadaian kedaulatan kita atas tanah dan air kita sendiri.
Penanganan masalah penggadaian dan penjarahan sumber daya air ini sebenarnya sudah mulai dibicarakan secara serius sejak paruh pemerintahan kedua Presiden SBY. Namun sayang, pemerintah SBY belum mulai mengambil langkah kongkrit. Lalu, kira-kira apa yang akan dilakukan pemerintah Joko Widodo? |CSR/red