
CSRINDONESIA – Di sebuah ruang bersalin rumah sakit rujukan di Yogyakarta, Sari, bukan nama sebenarnya, masih mengenakan kain rumah sakit ketika bidan muda menghampirinya. Bayi mungil dalam dekapan Sari baru saja melihat dunia, dan kini sedang menghisap pelan puting ibunya. Tak ada air mata. Hanya keheningan yang penuh harapan. Di luar ruang bersalin, suami dan orang tua Sari menunggu kabar gembira. Tapi bagi Sari, momen ini bukan sekadar bahagia. Ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar.
Setiap Agustus, dunia memperingati Pekan ASI Sedunia. Di Indonesia, gema peringatan itu tak hanya berlangsung selama tujuh hari. Ia dirayakan sepanjang bulan dengan satu seruan besar: Utamakan Menyusui, Wujudkan Sistem Dukungan yang Berkelanjutan.
Tema itu bukan sembarang jargon. Ia menjawab fakta keras di lapangan, meski tren menyusui di Indonesia meningkat, tantangan yang dihadapi ibu tetap kompleks. Angka pemberian ASI eksklusif memang naik dari 52 persen pada 2017 menjadi 66,4 persen pada 2024. Namun, di balik persentase itu, tersembunyi jutaan kisah ibu yang berjibaku dengan stigma, minimnya fasilitas, serta sistem yang belum sepenuhnya berpihak.
“Ketika perempuan dan bayi mereka berhasil menyusui dengan baik, itu bukan hanya soal nutrisi. Itu investasi jangka panjang bagi kesehatan masyarakat dan masa depan bangsa,” ujar Maniza Zaman, Perwakilan UNICEF Indonesia.
Tantangan yang dimaksud bukan hanya soal pengetahuan menyusui, melainkan struktur dukungan yang belum merata. Banyak ibu yang menyerah bukan karena enggan, tetapi karena dibiarkan sendiri dalam kebingungan.
Di sejumlah rumah sakit pemerintah, penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui memang mulai diterapkan. Namun implementasinya masih belum seragam, terlebih di wilayah-wilayah pinggiran. Fasilitas laktasi, konseling menyusui, hingga pelatihan tenaga kesehatan masih bergantung pada prioritas lokal dan ketersediaan anggaran.
Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia, menilai capaian kenaikan angka ASI eksklusif merupakan hasil dari kerja kolektif. Tapi keberlanjutannya, kata dia, hanya bisa dijaga dengan membangun sistem yang mampu mendampingi setiap ibu di tiap fase menyusui.
“Tak cukup hanya memberikan informasi. Kita butuh memastikan semua fasilitas bersalin benar-benar mendukung praktik menyusui dari menit pertama kehidupan bayi,” ujarnya.
Pentingnya menyusui bukan lagi isu individual, tapi urusan pembangunan. Bukti ilmiah menunjukkan, menyusui meningkatkan IQ anak sebesar tiga hingga empat poin. Ia juga menurunkan risiko obesitas dan melindungi dari penyakit tidak menular seumur hidup. Di negara berkembang, bayi yang tidak disusui berisiko 14 kali lebih tinggi meninggal sebelum usia satu tahun.
Lebih dari itu, menyusui terbukti ramah lingkungan. Tak ada jejak karbon, tak ada limbah plastik dari kemasan formula. Menyusui adalah praktik kesehatan sekaligus ekologi.
