Home Dunia Pekan ASI Sedunia di Indonesia 2025: Jalan Panjang Menuju Dukungan yang Tak...

Pekan ASI Sedunia di Indonesia 2025: Jalan Panjang Menuju Dukungan yang Tak Terputus

15
Mardiana, seorang ibu yang baru saja melahirkan di Puskesmas Sakra, bersama suaminya, Khairul, dan Rihana, bayi mereka yang berusia 11 hari, di Puskesmas Sakra, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Mardiana, seorang ibu yang baru saja melahirkan di Puskesmas Sakra, bersama suaminya, Khairul, dan Rihana, bayi mereka yang berusia 11 hari, di Puskesmas Sakra, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
CSRINDONESIA – Di sebuah ruang bersalin rumah sakit rujukan di Yogyakarta, Sari, bukan nama sebenarnya, masih mengenakan kain rumah sakit ketika bidan muda menghampirinya. Bayi mungil dalam dekapan Sari baru saja melihat dunia, dan kini sedang menghisap pelan puting ibunya. Tak ada air mata. Hanya keheningan yang penuh harapan. Di luar ruang bersalin, suami dan orang tua Sari menunggu kabar gembira. Tapi bagi Sari, momen ini bukan sekadar bahagia. Ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar.
Setiap Agustus, dunia memperingati Pekan ASI Sedunia. Di Indonesia, gema peringatan itu tak hanya berlangsung selama tujuh hari. Ia dirayakan sepanjang bulan dengan satu seruan besar: Utamakan Menyusui, Wujudkan Sistem Dukungan yang Berkelanjutan.
Tema itu bukan sembarang jargon. Ia menjawab fakta keras di lapangan, meski tren menyusui di Indonesia meningkat, tantangan yang dihadapi ibu tetap kompleks. Angka pemberian ASI eksklusif memang naik dari 52 persen pada 2017 menjadi 66,4 persen pada 2024. Namun, di balik persentase itu, tersembunyi jutaan kisah ibu yang berjibaku dengan stigma, minimnya fasilitas, serta sistem yang belum sepenuhnya berpihak.
“Ketika perempuan dan bayi mereka berhasil menyusui dengan baik, itu bukan hanya soal nutrisi. Itu investasi jangka panjang bagi kesehatan masyarakat dan masa depan bangsa,” ujar Maniza Zaman, Perwakilan UNICEF Indonesia.
Tantangan yang dimaksud bukan hanya soal pengetahuan menyusui, melainkan struktur dukungan yang belum merata. Banyak ibu yang menyerah bukan karena enggan, tetapi karena dibiarkan sendiri dalam kebingungan.
Di sejumlah rumah sakit pemerintah, penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui memang mulai diterapkan. Namun implementasinya masih belum seragam, terlebih di wilayah-wilayah pinggiran. Fasilitas laktasi, konseling menyusui, hingga pelatihan tenaga kesehatan masih bergantung pada prioritas lokal dan ketersediaan anggaran.
Dr N. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia, menilai capaian kenaikan angka ASI eksklusif merupakan hasil dari kerja kolektif. Tapi keberlanjutannya, kata dia, hanya bisa dijaga dengan membangun sistem yang mampu mendampingi setiap ibu di tiap fase menyusui.
“Tak cukup hanya memberikan informasi. Kita butuh memastikan semua fasilitas bersalin benar-benar mendukung praktik menyusui dari menit pertama kehidupan bayi,” ujarnya.
Pentingnya menyusui bukan lagi isu individual, tapi urusan pembangunan. Bukti ilmiah menunjukkan, menyusui meningkatkan IQ anak sebesar tiga hingga empat poin. Ia juga menurunkan risiko obesitas dan melindungi dari penyakit tidak menular seumur hidup. Di negara berkembang, bayi yang tidak disusui berisiko 14 kali lebih tinggi meninggal sebelum usia satu tahun.
Lebih dari itu, menyusui terbukti ramah lingkungan. Tak ada jejak karbon, tak ada limbah plastik dari kemasan formula. Menyusui adalah praktik kesehatan sekaligus ekologi.
Pada 20 Oktober 2023 Krisyanti Patandung menggendong bayinya yang baru lahir setelah melahirkan di Rumah Sakit Regional Yowari di Jayapura, Papua, Indonesia.
Pada 20 Oktober 2023 Krisyanti Patandung menggendong bayinya yang baru lahir setelah melahirkan di Rumah Sakit Regional Yowari di Jayapura, Papua, Indonesia.
Namun demikian, perjuangan menyusui tidak bisa dibebankan pada pundak ibu semata. Butuh dukungan struktural dan budaya yang menjamin ibu bisa menyusui tanpa tekanan. UNICEF dan WHO menyerukan langkah-langkah strategis yang mesti segera dipercepat. Mulai dari perluasan akses konseling menyusui lewat fasilitas kesehatan dan layanan jarak jauh seperti telekonseling dari Kementerian Kesehatan, hingga edukasi menyusui dalam kurikulum pelatihan tenaga kesehatan.
Perusahaan juga diajak mengambil peran lebih konkret. Kebijakan cuti melahirkan yang layak, ruang laktasi, serta pengaturan kerja fleksibel tak lagi bisa dianggap bonus, melainkan kebutuhan dasar bagi pekerja perempuan.
Bahkan lebih jauh, praktik pemasaran produk pengganti ASI yang tidak etis perlu ditindak tegas sesuai Kode Internasional Pemasaran Pengganti ASI. Tanpa pengawasan, industri bisa mengambil ruang yang seharusnya menjadi hak ibu dan bayi.
Sari, yang kini tengah menjalani masa nifas di rumahnya, bersyukur karena rumah sakit tempat ia melahirkan menyediakan ruang laktasi dan konseling menyusui. Tapi ia sadar, tak semua ibu seberuntung dirinya. “Kalau bukan karena bidan yang ngajarin langsung dari hari pertama, mungkin aku sudah menyerah,” katanya.
Dari kota besar hingga pelosok desa, cerita Sari dan jutaan ibu lainnya menunggu untuk didengar dan dipahami. Peringatan Pekan ASI bukan soal seremoni tahunan. Ia adalah seruan moral dan kebijakan, bahwa di balik keberhasilan menyusui, ada sistem yang bekerja, ada keluarga yang mendukung, dan ada negara yang hadir.
Karena menyusui bukan hanya pilihan pribadi. Ia adalah hak dasar setiap anak. Dan hak dasar, seperti kata UNICEF dan WHO, tak boleh dibiarkan bergantung pada nasib semata. |WAW-CSRI