Home CSR #NgopiPagi: Jaga Mulutmu dan Berkata Baik atau Diam

#NgopiPagi: Jaga Mulutmu dan Berkata Baik atau Diam

11
Aendra Medita/ist

#NgopiPagi: Jaga Mulutmu dan Berkata Baik atau Diam

MENGHINA suku mana pun adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan, termasuk ketika seseorang menghina suku Sunda lalu tiba-tiba mencoba menutupinya dengan permintaan maaf yang terkesan terburu-buru dan alasan bahwa mereka memiliki keluarga Sunda. Sikap seperti ini bukan hanya menunjukkan kurangnya empati, tetapi juga memperlihatkan betapa mudahnya seseorang meremehkan identitas budaya orang lain. Tidak ada satu pun suku di Indonesia yang pantas dihina, dan tidak ada alasan yang wajar untuk menutupi perkataan merendahkan dengan dalih hubungan keluarga. Permintaan maaf baru bisa dianggap tulus ketika seseorang benar-benar mengakui kesalahannya tanpa membuat alasan tambahan yang memanipulasi situasi.

Ketika seseorang berkata buruk tentang suku tertentu, mereka sedang menyerang identitas, sejarah, dan martabat sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri. Suku Sunda memiliki budaya, bahasa, seni, tradisi, nilai, dan sejarah yang dijaga turun-temurun. Menghina suku tersebut berarti merendahkan seluruh perjalanan panjang leluhur dan komunitas yang selama ini hidup dengan damai serta memberikan kontribusi besar bagi bangsa. Setelah melakukan penghinaan, mengatakan “maaf ya, aku juga punya keluarga Sunda” bukan hanya tidak relevan, tetapi juga menunjukkan bahwa permintaan maaf tersebut tidak sepenuhnya jujur. Bila seseorang benar-benar menghormati suku Sunda, mereka seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata menghina sejak awal.

Permintaan maaf yang disertai pembelaan diri seperti itu sering kali terdengar seperti cara untuk meredam reaksi orang lain, bukan sebagai bentuk kesadaran diri. Permintaan maaf yang matang harusnya diiringi dengan pemahaman bahwa ucapan kita membawa dampak. Ketika kita berkata buruk tentang suatu suku, kita sedang mengirim pesan yang bisa memicu stereotip, memperbesar diskriminasi, dan menciptakan ketegangan antara kelompok. Orang yang menghina lalu buru-buru mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa mereka punya keluarga Sunda sebenarnya sedang menutupi tanggung jawabnya sendiri. Itu bukan permintaan maaf, melainkan mekanisme pertahanan untuk menghindari kritik.

Selain itu, membawa-bawa keluarga Sunda sebagai alasan adalah bentuk manipulasi emosional yang halus. Seakan-akan dengan menyebut hal tersebut, semua orang harus langsung memaafkan dan menganggap bahwa ia tidak mungkin bersikap rasis atau diskriminatif. Padahal, kenyataannya banyak sekali orang yang menghina kelompok tertentu meskipun mereka memiliki teman, pasangan, atau keluarga dari kelompok tersebut. Hubungan personal tidak otomatis membuat seseorang bebas dari prasangka. Justru, kalau benar memiliki keluarga Sunda, seharusnya itu menjadi alasan untuk berhati-hati, bukan sebaliknya. Tidak pantas menggunakan nama keluarga sebagai tameng untuk menutupi perilaku salah.

Sikap tegas sangat diperlukan agar orang tersebut memahami bahwa ucapannya punya konsekuensi. Kita bisa mengatakan dengan jelas bahwa penghinaan tetap penghinaan, dan permintaan maaf harus disampaikan tanpa alasan tambahan. Teguran yang jelas akan membantu mereka mengerti bahwa tanggung jawab tidak boleh dialihkan ke pihak lain, apalagi ke keluarga sendiri. Seseorang perlu belajar bahwa integritas itu tampak dari bagaimana ia memperbaiki kesalahan tanpa mencoba meremehkan dampak dari ucapan yang telah diucapkannya.

Suku Sunda, seperti suku lainnya, terdiri dari manusia yang memiliki perasaan. Banyak dari mereka sangat bangga dengan identitas dan budaya mereka. Ketika ada orang yang mengucapkan sesuatu yang merendahkan, itu bukan hanya soal perbedaan pendapat; itu adalah serangan terhadap nilai yang dihargai banyak orang. Melakukan hal tersebut lalu bersembunyi di balik argumen “aku juga punya keluarga Sunda, kok” tidak mengurangi rasa sakit yang sudah ditimbulkan.

Dalam situasi seperti ini, respons yang tegas sekaligus proporsional sangat diperlukan. Kita bisa menyampaikan bahwa permintaan maaf hanya layak dihargai jika dilakukan tanpa syarat, tanpa alasan tambahan, dan tanpa mengalihkan tanggung jawab. Kita bisa menegaskan bahwa membawa-bawa keluarga bukanlah bentuk tanggung jawab, melainkan bentuk penghindaran. Orang tersebut perlu memahami bahwa untuk memperbaiki kesalahan, ia harus mengakui ucapan salahnya secara penuh, memahami dampaknya, dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya.

Ulah Streamer Muhammad Adimas Firdaus alias Resbob viral karena menghina pendukung Persib Viking hingga suku Sunda menggunakan kalimat kasar  tapi  akhirnya meminta maaf setelah videonya ramai. Menghina suku mana pun tidak akan pernah menjadi tindakan yang benar. Begitu juga dengan sungguh tidak pantasnya meminta maaf sambil mencoba mencari pembenaran dengan alasan hubungan keluarga. Kita harus berani berkata tegas bahwa kalau seseorang benar-benar menghormati suku Sunda, ia tidak akan merendahkan mereka sejak awal, dan kalau benar ingin menebus kesalahannya, ia akan meminta maaf dengan tulus tanpa membuat alasan tambahan yang tidak relevan. Hanya dengan cara itu, permintaan maaf dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan. Hindarilah perbuatan SARA dan jaga mulutmu dan berkata baik atau diam. Tabik.

Aendra Medita