CSRINDONESIA – Jika kita bebaskan imajinasi untuk berkelana, maka kota ini seperti seorang tetua bijak yang duduk tenang di tepi Laut Jawa, menyimpan ribuan cerita dalam setiap lipatan kotanya. Ia tidak perlu berteriak tentang multikulturalisme; ia menghidupinya setiap hari di gang-gang sempit Pecinan, di tengah gemeriuh Pasar Johar, dan dalam senyum pemilik warung Lumpia Gang Lombok. Semarang, dengan caranya yang low-profile, justru menjadi masterclass berharga tentang arti keberlanjutan yang sesungguhnya, sebuah pelajaran yang kini hendak dijadikan inspirasi bagi para pelaku Corporate Social Responsibility (CSR) terbaik Indonesia.
Pada akhir Oktober 2025, para petinggi perusahaan, inovator sosial, dan pegiat sustainability akan berlabuh ke kota ini untuk menghadiri CSR Indonesia Awards 2025. Acara yang mengusung tema “Citra CSR Sebagai Strategi Keberlanjutan Korporasi” ini sengaja memilih Semarang bukan sebagai sekadar lokasi, melainkan sebagai guru dan latar cerita.
“Ada semacam resonansi yang dalam ketika kita berbicara tentang keberlanjutan di sebuah kota yang telah mempraktikkan nilai-nilai itu selama berabad-abad,” ujar seorang panitia penyelenggara. “Ini bukan sekadar pemberian award, tapi semacam pertemuan para petualang yang kembali ke sumber untuk berbagi cerita dan mengambil pelajaran baru.”


Pelajaran dari Kota yang Tak Pernah Lelah Beradaptasi
Berjalan-jalanlah di kawasan Kota Lama. Di sana, bangunan-bangunan kolonial berdiri kokoh, bukan sebagai monumen mati, melainkan sebagai ruang kreatif yang berdenyut. Seorang pemuda membuka kedai kopi di gedung berarsitektur Art Deco, sementara di seberangnya, komunitas seni menggelar pameran instalasi. Revitalisasi bukan jadi sekadar kata kosa kata di laporan tahunan perusahaan, tapi jadi nafas keseharian.
“Semarang itu ahli dalam transformasi,” ujar seorang pengamat perkotaan. “Mereka mengambil warisan sejarah, yang sering di tempat lain jadi beban, dan mengubahnya jadi modal sosial dan ekonomi.”
Kemahiran ini terlihat jelas dalam program Kampung Tematik. Dulu, kampung-kampung seperti ini mungkin hanya jadi permukiman kumuh. Tapi melalui kolaborasi cerdas antara CSR korporat, pemerintah daerah, dan masyarakat, kampung-kampung itu berubah menjadi destinasi wisata yang colorful dan produktif. Lahirlah Kampung Pelangi, Kampung Batik, Kampung Tahu, di mana setiap sudut bercerita tentang pemberdayaan.
“Itulah CSR dalam bentuknya yang paling organik,” tambahnya. “Bukan yang sekadar menyalurkan dana, tapi yang membangun ekosistem.”
CSR Indonesia Awards 2025 sendiri hadir dengan 11 kategori yang dirancang untuk menangkap kompleksitas dampak sebuah program CSR. Kategori-kategori seperti Cipta Karsa Mandiri (untuk pemberdayaan), Karsa Budaya Prima (pelestarian budaya), dan Didaktika Pratama Unggul (pendidikan) seperti mencerminkan semangat Semarang yang membumi dan multidimensi.
Acara yang akan digelar selama dua hari, 29-30 Oktober 2025, ini dirancang sebagai sebuah simposium. Selain penganugerahan, akan ada diskusi mendalam tentang masa depan CSR, bagaimana membangun strategi yang berkelanjutan, dan tentu saja, berbagi praktik terbaik.
“Kami ingin award ini bukan jadi tujuan akhir, tapi menjadi katalis untuk inovasi yang lebih besar,” jelas panitia penyelenggara. “Dan Semarang, dengan segala pelajarannya, adalah lingkungan yang tepat untuk percakapan semacam itu.”


