
Hutan yang Disangkal
Di hutan itu, kayu golondongan bernomor tergeletak seperti luka terbuka,
bekas gergaji masih hangat,
bau getah yang tercabik belum sempat berdoa.
Ada nama PT-nya
Semua orang bisa melihatnya—
kecuali mereka yang sengaja memicingkan mata
demi menjaga dongeng yang terus mereka ulang
sampai mereka sendiri percaya.
Pejabat datang dengan sepatu licin dan kata-kata manis,
menyebut kayu itu lapuk,
seolah angka-angka yang terukir di batang hanyalah jamur,
seolah suara pohon tumbang hanyalah angin lewat.
Mereka bicara tentang “tidak ada apa-apa,”
padahal yang tidak ada hanyalah rasa malu
yang sudah lama mereka kubur di balik meja kerja saat rapat.
Darahku naik, bukan karena kebodohan,
tapi karena keberanian mereka
mengira kita semua bodoh.
Alibi mereka seperti tali rafia—
mudah putus, tapi tetap saja diikatkan paksa
untuk menahan bobot kebohongan yang kian membusuk.
Di antara tunggul yang meratap,
aku melihat bayang-bayang ketamakan
yang tak pernah mereka akui.
Mereka terlalu sibuk menyusun alasan,
hingga lupa bahwa hutan punya ingatan,
dan tanah menyimpan setiap jejak.
Dan pada akhirnya,
yang lapuk bukan kayunya,
melainkan nurani yang mereka tinggalkan
di tepi jalan menuju hutan.
Aendra MEDITA
6 Desember 2025













