Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk menghormati hukum terkait reklamasi Teluk Jakarta. Pasalnya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara telah memutuskan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta (Pulau G) ditunda sampai berkekuatan hukum tetap.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menyebut, alasan penghentian reklamasi sudah sangat jelas. Sebab, banyak perundang-undangan yang dilanggar, dan bahkan Majelis Hakim berpandangan bahwa reklamasi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan berdampak kerugian bagi para nelayan sebagai penggugat.
“Pernyataan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bahwa pemerintah akan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta, khususnya reklamasi pulau G, menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat justru tidak mentaati hukum dan perundang-undangan,” Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam keterangan tertulis, hari ini.
Bahkan, kata Nurhidayati, pemerintah pusat telah gagal memahami bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi.
“Apa yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman sesungguhnya merupakan tamparan keras bagi Presiden Joko Widodo. Karena di berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk menegakkan hukum, namun justru pemerintah sendiri yang bukan hanya tidak mentaati hukum, tapi juga menodai supremasi hukum, dengan melawan perintah pengadilan secara terbuka. Untuk itu, Walhi ingatkan Presiden untuk menghormati hukum,” tegas alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Dia mengatakan apa yang dilakukan oleh Menko Maritim akan menjadi preseden hukum yang buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan sedang memperlihatkan dan mempraktikkan model pembangunan yang dilakukan serampangan, bahkan dengan melabrak Konstitusi, Perundang-Undangan dan supremasi hukum.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat akan menjadi contoh bagi Pemerintah Daerah lain yang saat ini juga gencar mengkavling-kavling pesisir dan laut di berbagai daerah seperti reklamasi Teluk Benoa, reklamasi pesisir Makassar, reklamasi Teluk Palu, reklamasi Teluk Kendari, reklamasi di Manado, reklamasi Balikpapan, dan reklamasi di Maluku Utara.
“Juga akan memberi contoh bagi Pemerintah Daerah yang menyediakan kawasannya untuk diambil tanah dan pasirnya sebagai bahan material reklamasi, antara lain dari Banten, NTB, Jawa Timur dan Jawa Barat,” kata dia.
Penghancuran kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil semakin mendapatkan legitimasi, karena diamini oleh Pemerintah Pusat.
Dia mengatakan kejahatan korporasi difasilitasi oleh negara, bahkan melalui cara-cara yang melanggar hukum sekalipun, pada akhirnya menjadi sangat wajar, jika negara tidak memiliki wibawa di mata korporasi.
“Kami juga menilai bahwa bersikukuhnya Pemerintah baik pemerintah pusat yang diwakili oleh Menko Maritim dan Sumber Daya maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengindikasikan relasi yang begitu kuat antara kekuasaan ekonomi dan politik. Negara tunduk di bawah kuasa modal,” kata dia.
Masalah reklamasi kawasan pesisir dan laut, reklamasi Teluk Jakarta, termasuk di dalamnya Pulau G, bukan lah semata-mata perkara teknis yang selalu berujung pada rekomendasi teknis melalui rekayasa teknologi.
Walhi menyebut Menko Maritim berpandangan sempit dan bahkan sesat pikir, bahwa persoalan lingkungan hidup dapat diselesaikan secara teknis semata.
Padahal, menurut Nurhidayati, bicara kawasan, artinya juga sedang bicara soal ruang hidup dalam berbagai aspek, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, selain aspek lingkungan hidup. Itulah mengapa Pemerintah Pusat sebelumnya membentuk Tim Kajian dalam 3 aspek, aspek hukum, aspek lingkungan dan aspek teknis, dan hasil Tim Kajian sebelumnya telah merekomendasikan penghentian reklamasi pulau G.”
“Ini juga menandakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tidak memiliki kapasitas dalam memahami perencanaan dan pembangunan sebuah kawasan yang berkelanjutan dan berkeadilan, baik bagi lingkungan hidup maupun sumber-sumber kehidupan rakyat,” pungkas Nurhidayati. |RMN/MDN