Home Dunia USC Global Communication Report 2025: Ketika Dunia Tak Lagi Percaya, Komunikasi Harus...

USC Global Communication Report 2025: Ketika Dunia Tak Lagi Percaya, Komunikasi Harus Menebusnya

32
USC Global Communication Report 2025
USC Global Communication Report 2025
CSRINDONESIA – Bayangkan Anda sedang menonton berita, membaca unggahan di media sosial, atau mendengarkan pidato seorang tokoh publik. Lalu muncul pertanyaan di kepala: “Mana yang benar?” Atau mungkin yang lebih sederhana: “Masih bisa dipercaya, kah?”
Pertanyaan seperti ini tidak lagi menjadi kegelisahan segelintir orang. Ia telah menjelma jadi keresahan global. Dunia hari ini tengah mengalami krisis yang senyap tapi mengakar: krisis kepercayaan.
Sebuah laporan berjudul USC Global Communication Report 2025 mengungkap hal yang mencengangkan—bahwa hanya 2 persen profesional komunikasi percaya publik benar-benar mempercayai informasi yang mereka terima dari media atau institusi.
Dua persen. Angka ini bahkan lebih rendah dari populasi harimau Sumatra yang tersisa di alam liar. Dan ini bukan sekadar angka, melainkan peringatan keras bahwa komunikasi di era digital tak lagi cukup hanya ramai, ia harus bermakna dan dipercaya.
Lebih dari Sekadar Menyampaikan Pesan
Selama ini, profesi komunikasi kerap diasosiasikan dengan hal-hal teknis: menyusun siaran pers, membentuk citra, membangun narasi. Tapi hari ini, tuntutannya berbeda. Dunia tak butuh lebih banyak slogan, ia butuh keberanian untuk berkata jujur.
Sebanyak 76 persen profesional komunikasi yang disurvei mengakui bahwa tantangan terbesarnya hari ini adalah membangun kepercayaan publik. Komunikasi yang dulunya hanya dianggap sebagai “alat bantu pemasaran”, kini dipanggil untuk mengambil posisi lebih strategis—sebagai penjaga etika dan penyeimbang suara-suara yang gaduh.
Ini bukan soal gaya bahasa atau keahlian membuat kampanye viral. Ini soal keberanian menempatkan integritas di atas kepentingan jangka pendek.
Generasi Baru yang Tak Mau Dimanipulasi
Menariknya, harapan justru datang dari generasi yang kerap dianggap “terlalu idealis”: anak muda. Gen Z dan milenial yang kini mulai mendominasi profesi komunikasi membawa semangat yang berbeda. Mereka tak tertarik membungkus realitas dengan manis, mereka ingin menghadirkan yang otentik dan jujur.
Dalam laporan tersebut, 82 persen mahasiswa komunikasi menyatakan ingin bekerja di organisasi yang punya misi sosial yang jelas. Bagi mereka, komunikasi bukan tempat sembunyi dari kebenaran, melainkan sarana memperjuangkannya.
Ini kabar baik. Profesi yang sempat tercemar oleh praktik pencitraan tanpa isi kini berpeluang direbut kembali oleh mereka yang menjunjung nurani.
AI dan Kemanusiaan: Siapa Menentukan Siapa?
Kita tentu tak bisa bicara soal masa depan komunikasi tanpa menyebut soal teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI). Hari ini, AI bisa menyusun laporan media, menganalisis data publik, bahkan menulis paragraf pembuka artikel opini seperti ini—tapi, tetap ada yang tak bisa digantikan: naluri manusia.
Sebanyak 73 persen profesional komunikasi percaya AI akan jadi alat bantu penting. Tapi ketika menyangkut empati, intuisi, dan penilaian etis—yang sering kali tak rasional—kitalah, manusia, yang tetap memegang kendali.
Kuncinya adalah bukan sekadar bisa menggunakan teknologi, tapi menggunakannya secara bertanggung jawab. Karena komunikasi yang efektif bukan sekadar cepat atau pintar, tapi juga berjiwa.
Komunikasi sebagai Tindakan Moral
Laporan ini, lebih dari sekadar kumpulan data, sebetulnya adalah ajakan untuk melihat ulang profesi komunikasi—bukan sebagai alat persuasi, melainkan sebagai tindakan moral.
Mereka yang bekerja sebagai komunikator—entah di media, agensi, kantor humas, atau organisasi sosial—sekarang punya peran strategis dalam memperbaiki jaringan kepercayaan yang rusak. Di balik layar, dari ruang rapat sampai layar gawai, mereka bisa menjadi penata ulang arah percakapan publik: dari bising menjadi jernih, dari curiga menjadi percaya.
Tentu, tidak mudah. Tapi seperti kata pepatah lama, di saat dunia kehilangan arah, orang akan mencari suara yang bisa dipercaya. Dan suara seperti itu tidak datang dari yang paling keras, tapi dari yang paling jujur.
Mungkin ini saatnya kita berhenti bertanya “apa yang ingin disampaikan?”, dan mulai bertanya “untuk siapa kita bicara?” Karena dunia hari ini tak kekurangan pesan, yang kurang justru keberanian untuk berbicara dengan hati nurani.
Dan itu, barangkali, adalah tugas terbesar para komunikator masa kini. |WAW-CSRI
2025_USC-Global-Communication-Report_Singles