Home Digital The Power of Hatred Strategy: Menunggangi Kebencian, Memanen Ketenaran

The Power of Hatred Strategy: Menunggangi Kebencian, Memanen Ketenaran

17
Ilustrasi AI | WAW

The Power of Hatred Strategy: Menunggangi Kebencian, Memanen Ketenaran

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Ketika seorang pegawai PT Timah dipecat karena menghina tenaga honorer dan pengguna BPJS di TikTok, publik berharap ada sedikit penyesalan dari yang bersangkutan. Namun, alih-alih merunduk dan meminta maaf, Dwi Citra Weni justru terus memamerkan gaya hidup mewahnya, berlibur ke Disneyland Jepang, dan terang-terangan meledek netizen. Ironisnya, semakin banyak yang membencinya, semakin viral dirinya. Lantas, apakah ini sekadar kebetulan, atau ada strategi di baliknya?
Di era media sosial, kebencian bukanlah hukuman—ia adalah bahan bakar. Setiap hujatan yang dilemparkan netizen, setiap cacian yang membanjiri kolom komentar, justru menjadi gelombang yang mendorong akun Dwi Citra Weni ke puncak popularitas. Ini adalah fenomena yang bisa disebut sebagai “The Power of Hatred Strategy”—strategi di mana seseorang memanfaatkan kebencian publik untuk mendulang atensi dan interaksi. Dan sayangnya, algoritma media sosial sangat menyukai ini.
Seorang pakar psikologi sosial mengatakan bahwa perilaku provokatif di media sosial secara tidak langsung mengaktifkan reaksi emosional dari audiens. Ketika kita marah, kecewa, atau benci, kita tanpa sadar berkontribusi pada popularitas orang yang kita hujat. Algoritma TikTok, Instagram, dan platform lainnya bekerja dengan satu prinsip utama: engagement adalah segalanya. Semakin banyak interaksi, semakin tinggi visibilitas.
Dalam kasus Dwi Citra Weni, netizen mungkin berpikir mereka sedang ‘menghukum’ dia dengan menghujat dan membully, tetapi pada kenyataannya, mereka justru memberinya panggung. Dengan terus menekan tombol play, mengetik komentar marah, dan membagikan videonya, kita sendiri yang membantu memelihara relevansi sosialnya. Seperti pepatah lama di dunia digital: don’t feed the trolls. Sayangnya, kita justru memberi mereka pesta makan besar.
Ilustrasi AI | WAW
Pakar komunikasi digital menyarankan bahwa satu-satunya cara untuk melawan strategi ini adalah dengan mengabaikannya. Mute, silent, atau block—jangan berikan ruang bagi individu seperti ini untuk terus berkembang. Seperti teori dasar dalam ekologi, makhluk yang tidak mendapat makanan akan mati dengan sendirinya. Dalam konteks media sosial, makanan mereka adalah atensi kita.
Namun, ada satu sisi lain yang lebih mengkhawatirkan dari fenomena ini. Apa yang terjadi ketika strategi semacam ini berhasil? Apakah kita sedang menciptakan generasi yang percaya bahwa untuk menjadi terkenal, mereka harus menjadi antagonis? Apakah kita sedang mempercepat era di mana konten positif tenggelam, dan konten provokatif menjadi jalan pintas menuju ketenaran? Jika kebencian bisa dikonversi menjadi keuntungan, maka kita sedang berjalan ke arah yang sangat berbahaya.
Jadi, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin terus menjadi bahan bakar bagi mereka yang mencari sensasi lewat kebencian, atau mulai memilih diam sebagai bentuk hukuman? Jawabannya ada di setiap jempol yang men-scroll layar.
Karena pada akhirnya, tanpa kita, mereka bukan siapa-siapa. Tabik. []