Tambang Nikel, Jualan Onde-Onde, dan Investor Berkedok Pengambil Rente
Oleh: Zainal Abidin*
Di sebuah warung kopi pinggir jalan, tiga orang duduk serius membicarakan nikel. Ya, nikel! Bukan karena mereka geolog atau ekonom, tapi karena belakangan ramai berita tentang tambang nikel yang dikuasai aseng.
“Saya heran, kenapa sih hampir semua nikel kita dikeruk sama Tiongkok?” kata yang pertama, sambil mengaduk kopi yang lebih banyak ampasnya daripada cairannya.
“Kita ini bangsa pemalas!” timpal yang kedua, dengan nada seperti orator di atas mobil komando. “Masa punya harta karun di dalam tanah, tapi kita cuma jadi penonton?”
Yang ketiga, yang dari tadi diam, akhirnya buka suara. “Jadi maksud kalian, kita ini harusnya bisa kaya dari tambang nikel?”
“Iya, dong!” jawab dua orang tadi bersamaan, penuh semangat kebangsaan.
“Terus, kenapa kalian nggak investasi di tambang nikel?” tanyanya santai. Orang ketiga ini tahu persis, saldo rekening kedua temannya tak pernah lebih dari saldo minimum di akhir bulan.
Dua orang tadi terdiam. Yang satu sibuk melinting tembakau dengan papir, dan yang satu lagi lebih tertarik menghitung jumlah butiran gula di sendoknya.
Lalu, yang ketiga melanjutkan, “Rangkaian usaha pertambangan itu proses panjang yang berbiaya mahal, Bung! Bukan sekadar beli cangkul terus gali-gali. Dari eksplorasi, konstruksi, produksi, reklamasi dan rehabilitasi sampai tutup tambang, itu pakai biaya semua. Butuh hepeng. Kita butuh modal ratusan miliar sampi triliunan, peralatan canggih, koneksi dan—ini yang paling penting—nyali besar!”
“Lho, kan bisa pakai modal dalam negeri!” sahut yang pertama, masih berusaha mencari celah.
“Modal dalam negeri?” Yang ketiga tertawa kecil. “Investornya saja lebih suka main saham atau beli properti. Kalau diajak investasi di tambang, maunya yang sudah jelas ada depositnya. Dan kalaupun ada, mereka lebih senang jadi calo—jual konsesi ke investor asing, dapat komisi, lalu duduk manis di kafe sambil minum espresso sampai berganti hari.”
Yang kedua tersinggung. “Tapi tetap saja, kenapa untungnya lebih banyak ke asing?”
“Karena mereka yang berani ambil risiko. Kita maunya untung cepat tanpa susah payah. Mereka eksplorasi, bangun smelter, siapkan rantai pasok dari hulu sampai hilir. Sementara kita? Masih sibuk debat di warung kopi atau di grup WhatsApp.”
Mereka bertiga terdiam. Kopi sudah mulai mendingin.
Di ujung jalan, seorang ibu penjual onde-onde lewat, menjajakan dagangannya. Proses produksi sederhana, bahan baku ada di mana-mana, dan keuntungan langsung masuk kantongnya sendiri. Tak perlu eksplorasi, tak perlu investor asing, tak perlu debat panjang. Ndak perlu mikirin CSR.
Andai saja mengelola tambang semudah jualan onde-onde. []
*) Penulis adalah CSR Specialist, Direktur Mandiri Amal Insani Foundation, Dosen CSR untuk program MM Universitas Prasetiya Mulya