Ekonom senior Yanuar Rizky mengungkap analisis mendalam terkait kebijakan kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menarik dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia. Dalam wawancara dengan Abraham Samad di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up yang diunggah Kamis (18/9/2025), Rizky menyebut kebijakan ini sebagai “permainan diksi” yang pada dasarnya telah mengalokasikan dana SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) untuk program Koperasi Merah Putih.
Rizky menjelaskan bahwa Purbaya menganut teori likuiditas Milton Friedman yang anti pencekikan likuiditas. “Dia sangat percaya pasar, selalu bilang akan paksa pasar untuk bekerja. Peran negara sangat minimal – ini bagian dari embrio neoliberal,” ungkap Rizky.
Namun, berbeda dengan pendahulunya Sri Mulyani yang menerapkan kehati-hatian, Purbaya memilih pendekatan ekspansif pro-growth. “Sri Mulyani pro stabilitas, sedangkan Purbaya pro pertumbuhan. Ketika ekonomi sakit, dia bilang gas terus supaya tumbuh,” kata Rizky.
Ekonom yang pernah menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi ini memberikan kritik tajam terhadap kebijakan Purbaya. “Banyak kalangan menganggap ini game changer, tapi saya sebut ini populis. Bagaimana dikatakan game changer kalau dia sendiri sudah minta bunga 4 persen?”
Rizky mengingatkan sejarah kelam Paket kebijaksanaan Oktober 1988 atau Pakto 88 di era Menteri Keuangan JB Sumarlin yang memberikan relaksasi likuiditas luar biasa namun berujung pada krisis moneter 1998. “Teori likuiditas pernah kita rasakan membawa bencana. Mari jadikan masa lalu cermin untuk melihat masa depan.”
Dalam analisis yang mengejutkan, Rizky mengungkap bahwa dana 200 triliun pada dasarnya sudah dialokasikan untuk Koperasi Merah Putih. “Purbaya jago bermain diksi. Dia seolah memberikan mekanisme pasar ke perbankan, tapi substansinya dana ini sudah diarahkan ke program tertentu.”
Purbaya memberikan dua pilihan kepada bank: salurkan ke sektor riil dengan bunga dasar 4 persen (tidak boleh ke SBN), atau ke Koperasi Merah Putih dengan bunga 2 persen. “Ini bukan pilihan bebas, ini sudah di-setting,” tegas Rizky.
Yang mengkhawatirkan, menurut Rizky, Purbaya telah mempersiapkan jaring pengaman untuk dirinya. “Dia sudah bilang ke semua direksi bank pemerintah untuk hati-hati memberikan kredit. Kalau besok macet, dia bisa bilang itu business judgement rule dari bank, bukan keputusannya.”
Rizky membandingkan perbedaan gaya kepemimpinan: “Kalau Menteri Keuangan ibu-ibu cenderung hati-hati di depan, kalau bapak-bapak kasih dulu tapi kalau macam-macam siap dipenjara.”
Sebagai alternatif, Rizky mengusulkan pendekatan yang lebih langsung dan efektif. “Kalau masalahnya di M0 (uang di tangan masyarakat), kenapa tidak transfer langsung saja ke rakyat? Kenapa harus pakai trickle down effect yang bisa gagal?”
“Universal transfer lebih efektif daripada berputar-putar lewat koperasi yang belum tentu siap. Kalau Koperasi Merah Putih tidak bisa kelola bisnis dengan baik, boro-boro mengucur ke bawah, malah jadi kredit macet,” kritik Rizky.
Rizky juga memberikan perspektif global bahwa kerusuhan di berbagai negara, termasuk Nepal, Ecuador, dan Prancis, disebabkan oleh normalisasi kebijakan negara maju yang menghentikan aliran likuiditas. “Negara-negara terpaksa naikkan pajak karena akses surat utang mengering. Ini menyentuh kelas menengah yang selama ini tidak tersentuh.”
Melalui kanal Abraham Samad Speak Up, Rizky menyampaikan pesan langsung kepada Presiden Prabowo: “Konsep trickle down effect akan menggencet kelas menengah karena pada akhirnya pajak akan kena ke mereka. Lebih baik kasih M0 langsung ke kelas menengah, mereka akan distribusikan ke bawah.”
“Pemimpin harus punya kemampuan mendengar lebih besar dari kemampuan berbicara. Yang penting bukan mazhabnya, tapi konkret bisa berguna untuk masyarakat,” tutup Rizky. (Ris)