Home Berita PERJALANAN SECANGKIR KOPI (Bagian I dari 3 bagian)

PERJALANAN SECANGKIR KOPI (Bagian I dari 3 bagian)

944
Buku The Road to Java Coffe / dokumentasi CSRINDONESIA

Pengantar Redaksi

Tulisan ini ada tiga bagian ini bagian pertama sangat menarik. Dan di tulisan inilah bagaimana kisah kopi diceritakan secara hakiki. Selamat menikmati bacaan dari penulis Prawoto Indarto sang penulis buku The Road to JAVA Coffee yang fenomena itu.

OLEH Prawoto Indarto

Priangan Sang Legenda.

Dalam konstelasi industri kopi dunia, peran Pulau Jawa, khususnya Priangan, tidak mungkin dihilangkan. Priangan, kini Jawa Barat, adalah rumah bagi lahirnya legenda sekaligus ikon industri kopi dunia, Java coffee. Sejarahnya sempat ‘terkubur’ karena peristiwa luar biasa yang saya sebut sebagai Java effect. Akibat serangan penyakit karat daun (hemileia vastatrix) seluruh perkebunan kopi Arabika di Jawa dan Ceylon luluh lantak yang mendorong evolusi besar di industri kopi dunia. Produsen kopi Arabika mulai bergeser dari Asia ke Amerika Latin, Amerika Tengah dan Kepulauan Karibia.

Di Jawa, Priangan sebagai salah satu kebun kopi Arabika tertua di dunia mulai beralih ke tanaman teh. Tananam kopi mulai bergerak ke arah timur pulau Jawa dengan jenis tanaman baru, coffea canephora var. robusta, atau popular disebut kopi robusta. Negeri yang dikenal sebagai salah satu lokasi paling penting dalam proses penyebaran benih kopi Arabika di benua Amerika termasuk Kepulauan Karibia ini, lalu beralih menjadi produsen dan eksportir kopi Robusta dunia.

Memasuki awal abad 19, Priangan lebih dikenal sebagai wilayah penghasil teh kelas dunia. Dengan kontribusi sekitar 70 persen produksi the Indonesia, secara perlahan, bayang-bayang Priangan sebagai kebun kopi tertua di dunia itu mulai tereliminasi dari peta industri kopi dunia, bahkan industri kopi nasional.

Secara legal kopi baru ditanam kembali di Jawa Barat (Priangan) sekitar tahun 2001 setelah ada kesepakatan bersama antara masyarakat di sekitar hutan lindung yang tergabung di dalam “Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)” dengan pihak Perhutani melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sehingga di masa penanaman ulang ini, sekitar 90 persen tanaman kopi di Jawa barat tumbuh dan dibudidayakan di area Perhutani serta dipasarkan dengan nama Java Preanger coffee.

Asal Usul Kopi

Dari semua legenda dan literatur, Ethiopia disepakati sebagai tempat asal mula tanaman kopi ditemukan. Minuman yang sempat memperoleh predikat sebagai ‘Anggur Arab” tersebut akrab dengan peradaban masyarakat muslim di era kekhalifahan. 

Kisah Khaldi dan kambingnya.

Cerita gembala Khaldi bersama kambing-kambinnya yang menari-nari riang gembira selalu menjadi awal ketika orang di seluruh dunia membicarakan kopi. Konon pada suatu hari, Khaldi melihat kambing piarannya melompat-lompat kegirangan. Usut punya usut, di bawah tanaman asing Khaldi melihat kulit buah beri merah yang terkelupas. Rasa penasaran mendorong Khaldi untuk makan buah tersebut. Sehabis makan buah tersebut, Khaldi merasa segar dan bersemangat. Kisah Khaldi dan kambing peliharaannya lalu berkembang menjadi cerita yang berkembang menjadi legenda awal tanaman kopi mulai ditemukan. Cerita ini mengalir seiring penyebaran kopi diseluruh dunia. Namun sejak abad 18, Java adalah kata yang selalu disebut bila orang di dunia membicarakan kopi.

Kisah Omar, Tabib dari Mocha.

Selain Khaldi, cerita kopi juga sering menyertakan kisah Ali bin Omar al Shadili, yang biasa dipanggil Omar, seorang sufi sekaligus tabib yang hidup di Mocha, Yaman.

Omar adalah tabib yang memadukan tindakan medis dengan doa. Hampir segala penyakit bisa disembuhkan dengan cara itu sehingga Omar menjadi tabib terkenal di kota Mocha. Namun penguasa idak suka dengan popularitas Omar. Segala daya upaya dilakukan untuk menjatuhkan Omar, termasuk melemparkan ‘hoax’ bahwa Omar telah bersekutu dengan setan dalam usaha  menyembuhkan penyakit para pasiennya. Akhirnya Omar diusir dari kota dan tinggal dalam sebuah gua di luar kota Mocha.

Saat lapar mendera, Omar menemukan tanaman semak, penuh dengan buah beri berwarna merah. Omar berpikir buah tersebut sebagai tanda penyelamatan dari Tuhan. Untuk mengusir rasa lapar, Omar makan buah itu meski terasa pahit. Omar kemudian melakukan berbagai cara agar dapat menikmati buah itu. Ketika merasa haus, Omar minum cairan dari biji buah tersebut, dan bersama tetes air yang masuk di kerongkongan, tubuh Omar merasa segar.

Singkat cerita, keberadaan Omar hidup di gua kemudian diketahui oleh banyak orang. Mereka berbondong-bondong datang ke Omar untuk disembuhkan. Kali ini Omar memanfaatkan air seduhan dari biji buah beri itu sebagai obat mujarab. Air mujarab itu lalu dikenal dengan nama Qahwa yang artinya kekuatan.

Kopi, Budaya Masyarakat Muslim

Meski Ethiophia sebagai tempat asal tanaman kopi dan telah mengkonsumsi sejak abad 9, namun kopi baru popular sebagai minuman di abad 15, ketika mulai diperdagangkan secara komersial oleh para pedagang Arab di Yaman.

Adalah kaum sufi, kelompok terpelajar kala itu, yang melakukan berbagai percobaan untuk menemukan bagian mana dari tanaman kopi yang paling cocok untuk di konsumsi sebagai minuman. Akhirnya diketahui bahwa biji kopi yang disangrai lalu ditumbuk menjadi bubuk adalah cara paling tepat menikmati minuman kopi.

Awalnya, kopi hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas yaitu, para Sultan dan para imam. Di balik warna seduhan berwarna gelap, kopi memberi rasa segar dan mencegah rasa kantuk saat para imam melakukan tafsir ayat-ayat suci Al Qur’an di malam hari. Ketika rahasia itu terbongkar dan mulai menyebar, kopi segera menjadi minuman popular masyarakat di seluruh jazirah Arab.

Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat di Jaziah Arab ketika membuat peralatan minum kopi biasa dihiasi oleh ornamen-ornamen indah. Mereka percaya ada energi tersembunyi dibalik minuman kopi untuk membangkitkan semangat, gairah dan stamina. Minuman itu di berinama Qahwa yang berarti kekuatan. Qahwa diambil dari kata Kaffa, suatu wilayah di Ethiopia, tempat tanaman kopi berasal.

KEDAI KOPI DAN AWAL PERDAGANGAN KOPI

Sepulang kunjungan dari Mesir tahun 1517, Sultan Salim I dari kekaisaran Ottoman Turki membawa kopi ke Konstantinopel, kemudian ke Damaskus (1530) dan Aleppo 1532. Sampai abad 16, kopi hanya diperdagangkan secara komersial di Mocha, Yaman.

Di masa pemerintahan Sultan Murad IV (1623-1640) pewaris dinasti Ottoman Turki, terjadi peristiwa besar yang turut menentukan perjalanan sejarah kopi dunia. Sultan Murad IV beranggapan bahwa kedai kopi telah berubah fungsi, dari sekadar tempat minum kopi menjadi arena debat politik yang dapat membahayakan penguasa. Sultan kemudian menerapkan tindakan represif dengan mengejar bahkan memukul para pemilik kedai kopi. Karena merasa tidak nyaman, para pemilik kedai kopi banyak yang melakukan migrasi, menyeberang ke kota-kota Eropa untuk membuka kedai kopi.

Kedai kopi orang Turki yang disebut Kahveh Kanes. Selain tampil mewah Kahveh Kanes juga dihiasi karpet – karpet khas Turki yang indah. Maka Kahveh Kanes tidak sekadar menjual kopi, namun menawarkan ruang publik yang nyaman dengan suasana atau atmosphere kaya dengan entertainment. Kedai kopi ini segera menarik minat masyarakat Eropa yang sedang eforia menikmati kebebasan dalam berekspres di masa renaissance.

Pada tahun 1618, maskapai dagang Belanda VOC memperoleh ijin dari kekaisaran Ottoman Turki untuk membuka kantor dagang di Mocha dan Eden. Ini adalah dua pelabuhan utama dimana kopi dikapalkan keluar dari Yaman ke jazirah Arab serta sebagian Asia, terutama India.

Seiring maraknya kedai kopi yang tumbuh subur di kota-kota besar Eropa, permintaan kopi semakin besar. Semua itu disuplai dari Mocha, Yaman. Hal ini tidak terlepas dari pantaun VOC yang mulai turut bermain dalam perdagangan kopi ke pasar Eropa.

Dalam catatan sejarah, kedai kopi pertama di Eropa hadir di Venesia, menyusul kemudian di Italia (1645); Holland (1645); Inggris (1650); Perancis (1672); Hamburg (1679) dan Vienna (1683); Stuggard (1712).

Menjelang akhir abad 16, meski harga kopi terus naik, namun permintaan pasar Eropa justru semakin meningkat. Belanda dan Perancis ternyata memiliki mimpi yang sama, mereka berniat untuk memiliki kebun kopi sendiri. Bila hal itu terwujud, selain dapat mengendalikan pasar Eropa, yang akan mendatangkan keuntungan besar, sekaligus mematahkan praktek monopoli para pedagang Arab dalam perdagangan kopi.

KOPI ARABIKA

Para pedagang Arab merupakan salah satu supplier rempah-rempah untuk pasar Eropa. Mereka mencari rempah-rempah ke wilayah Asia, terutama ke India untuk memperoleh lada dan ke Ceylon (kini Sri Lanka) untuk mendapatkan kayu manis. Ketika tinggal di Ceylon,  mereka membawa bibit kopi untuk ditanam sebagai minuman kegemaran mereka. Ketika Ceylon dikuasai oleh Portugis, para pedagang Arab keluar dari Ceylon meninggalkan kebun kopi mereka. Selama Portugis di Ceylon, mereka tidak menyentuh kebun kopi.

Tahun 1658, Belanda berhasil menguasai Ceylon dari Portugis dan secara tidak sengaja menemukan kebun kopi yang ditinggalkan oleh pedagang Arab. Belanda kemudian menempatkan ahli botani, Carolus Linnaeus untuk menyelidiki pola budidaya tanaman kopi. Setelah berhasil, Linnaeus kemudian menamakan genus tanaman tersebut Coffea Arabica. Coffea diambil dari kata Qahwa sedang Arabica ditambahkan karena Linnaeus mengira

tanaman kopi berasal dari Arab (karena ditanam oleh pedagang Arab yang tinggal di Ceylon).

Genus inilah yang dibawa oleh VOC ke pulau Jawa untuk ditanam tahun 1696 dan 1699 di sekitar Batavia. Tahun 1706 contoh tanaman serta produksi kopi dari Jawa dibawa ke kebun botani Amsterdam yang memperoleh predikat sebagai kopi kualitas tinggi.

Dari kebun botani Amsterdam inilah coffea Arabica dari pulau Jawa lalu menyebar ke benua Amerika termasuk kepulauan Karibia. Seiring penyebaran tanaman kopi ke seluruh penjuru benua, masyarakat terlanjur menyebut tanaman itu sebagai coffea Arabica atau Arabica coffee dalam bahasa Inggris dan ‘kopi Arabika’ dalam terminologi bahasa Indonesia. (Bersambung ke bagian II)

Bogor, Januari 2019