Home CSR Pengakuan. Perusahaan Sosial

Pengakuan. Perusahaan Sosial

14
Zainal Abidin | IST

Pengakuan. Perusahaan Sosial

Zainal Abidin
CSR Specialist, Direktur Mandiri Amal Insani Foundation,
Dosen CSR untuk program MM Universitas Prasetiya Mulya
Di negeri tropis yang gemar membuat gebrakan, pemerintahnya baru saja merilis kebijakan yang memberi pengakuan untuk perusahaan sosial. Ini bukan sekadar soal bisnis, tapi soal kemanusiaan. “Kita melangkah maju! Bisnis tak lagi cuma soal laba, tapi juga menyelamatkan lingkungan dan memberantas kemiskinan!” seru sang pejabat. Semua orang bertepuk tangan, meski sebagian besar cuma separuh paham apa itu perusahaan sosial.
Mari beri apresiasi. Langkah ini, suka tidak suka, adalah lompatan besar. Inggris dan Amerika sudah lama melakukannya. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengakui perusahaan yang mendahulukan kepentingan masyarakat di atas keuntungan pribadi. Ini memberi mereka legitimasi—sesuatu yang sebelumnya hanya menjadi harapan kosong. Sekarang, mereka punya tempat di mata hukum, lengkap dengan label kebanggaan: pelaku perubahan.
Tapi, tentu saja, pengakuan saja tidak cukup. Seorang pengusaha sosial, misalnya yang sibuk membuat produk daur ulang, bertanya, “Kalau kami sudah diakui, apa kami akan dapat insentif pajak atau akses pendanaan? Atau sekadar dukungan di atas kertas?” Pertanyaan itu penting, sebab kebijakan ini bisa terasa seperti tamu undangan yang datang dengan tangan kosong (dan bisa jadi minta disuguhi macam-macam).
Ambil contoh soal pajak. Para pelaku usaha sosial ini bukan seperti perusahaan raksasa yang keuntungannya bisa membangun kota kecil. Mereka lebih mirip petani yang menanam padi di tanah kering: penuh niat baik, tapi modalnya cekak. Kalau mereka harus membayar pajak yang sama besar seperti perusahaan multinasional, bagaimana mereka bisa bertahan dengan misi bisnis sekaligus sosialnya? Pejabat menjawab dengan senyum lebar, “Kepercayaan publik adalah insentifnya.” Ah, kalau begitu, semoga senyum itu cukup untuk membayar listrik bulan depan.
Lalu ada masalah modal. Banyak perusahaan sosial berangkat dari mimpi besar. Tapi mimpi itu, sebagaimana hidup mengajarkan, butuh uang untuk diwujudkan. Tanpa skema pendanaan khusus atau insentif dari pemerintah, para pelaku usaha ini seperti diminta berenang di lautan tanpa pelampung. “Harus kreatif,” ujar pejabat sambil melipat kertas kebijakan. Kreatif? Tentu saja. Tapi kreativitas saja tidak bisa membayar upah karyawan yang butuh makan.
Namun, mari jujur, pengakuan ini tetap pantas diapresiasi. Ini adalah awal dari perubahan besar, langkah pertama menuju dunia bisnis yang lebih adil. Tapi langkah pertama ini harus diikuti langkah-langkah berikutnya: insentif pajak, akses pendanaan, edukasi publik, hingga sistem pelaporan yang jelas. Kalau tidak, kebijakan ini hanya akan seperti, maaf – koperasi. Cuma jadi bintang tamu dalam pidato, disebut-sebut tapi tak pernah sungguh-sungguh diberdayakan.
Jadi, mari beri tepuk tangan—untuk niat baiknya. Karena walau perjalanan ini masih panjang, setidaknya kita tahu ada harapan. Dan di negeri ini, harapan, betapa pun kecilnya, adalah barang yang layak dirayakan.