Home Humaniora Pendidikan Saham Sejak SD: Langkah Cerdas atau Serakah?

Pendidikan Saham Sejak SD: Langkah Cerdas atau Serakah?

111
Ilustrasi | WAW-AI

Pendidikan Saham Sejak SD: Langkah Cerdas atau Serakah?

WA Wicaksono,  Storyteller
Suatu hari Pinokia diberikan dua pilihan, belajar menjadi anak baik atau belajar menghitung koin emas. “Jika aku bisa memilih antara belajar menghitung koin emas atau belajar bagaimana menjadi anak yang baik, aku akan memilih menjadi anak baik. Tapi jika koin-koin itu bisa membantuku menolong ayah Geppetto, mungkin aku akan belajar sedikit,” begitu kira-kira pikiran yang ada di benak Pinokio
Namun Geppetto segera mengingatkan Pinokio, “Anak-anak, jangan lupa. Uang atau koin emas adalah alat, bukan tujuan. Sama seperti kayu yang kugunakan untuk membuat Pinokio, itu bisa menjadi sesuatu yang indah jika kalian tahu cara membentuknya dengan hati-hati,” ujar Geppetto, memberikan pelajaran moral tentang bagaimana melihat uang sebagai alat untuk kebaikan.
Nah, dari kutipan dialog imajiner karakter-karakter dongeng Petualangan Pinokio di atas, mari beralih membayangkan seorang anak SD sedang asyik berbicara tentang “dividen” atau bahkan lebih canggih, membahas pergerakan saham?
Ini bukan fantasi masa depan, lho! Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengusulkan ide yang cukup mengguncang dunia pendidikan kita yaitu mengajarkan pendidikan saham sejak sekolah dasar. Menurutnya, jika anak-anak mulai mengenal transaksi saham sejak dini, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang cerdas finansial, tidak mudah tergoda oleh iming-iming investasi yang tidak sehat, dan lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka kelak. Tapi benarkah ini adalah langkah yang tepat, atau justru kita sedang memberi mereka pelajaran yang terlalu rumit untuk usia mereka?
Mengajarkan Saham Sejak Dini: Apakah Mereka Siap?
Mari kita mulai dengan satu pertanyaan dasar, “Apakah anak SD benar-benar siap untuk mempelajari dunia yang kompleks ini? Pendidikan anak, khususnya di usia dini, seharusnya fokus pada pengembangan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta memahami konsep dasar tentang sosial dan moral. Bagaimana dengan dunia saham? Apakah itu bukan sesuatu yang terlalu abstrak bagi otak mereka yang masih dalam tahap perkembangan?
Bukankah Menurut teori pendidikan Jean Piaget, anak usia SD berada dalam tahap operasional konkret, di mana mereka mulai mengembangkan kemampuan untuk berpikir logis tentang objek nyata yang ada di sekitar mereka. Namun, konsep seperti saham, investasi, atau analisis pasar modal bisa dibilang sangat abstrak dan belum sepenuhnya bisa mereka pahami. Bayangkan seorang anak yang baru saja belajar cara menjumlahkan angka dua digit, lalu tiba-tiba diminta untuk memahami fluktuasi harga saham. Apakah ini bukan seperti meminta mereka memahami cara kerja mesin jet sebelum belajar bagaimana cara naik pesawat?
Namun, jika kita melihat sisi positifnya, mengajarkan saham bisa menjadi semacam “pengenalan dunia besar” yang mempersiapkan mereka untuk berhadapan dengan kompleksitas ekonomi di masa depan. Seperti kata Warren Buffett, “Pendidikan adalah senjata terbaik yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.” Memberikan dasar yang kuat tentang keuangan sejak kecil bisa membuka pandangan mereka tentang pentingnya pengelolaan uang yang bijak. Bahkan, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang sudah mulai memasukkan konsep literasi finansial dalam kurikulum mereka, membuktikan bahwa mungkin ada manfaat yang bisa dipetik.
Dampak Positif dan Negatif
Seperti halnya investasi saham itu sendiri, mengajarkan saham kepada anak-anak memiliki risiko dan potensi keuntungan perti:
Pertama membantu anak untuk membangun literasi keuangan sejak dini. Dengan memahami bagaimana uang bekerja, anak-anak akan lebih mudah untuk mengelola keuangan pribadi mereka saat dewasa. Ini juga bisa membantu mereka menghindari jebakan hutang atau investasi bodong.
Kedua sebagai bekal dan persiapan menghadapi dunia ekonomi yang semakin kompleks. Dunia semakin terhubung dan investasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman saham sejak dini, anak-anak bisa lebih siap menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks saat mereka dewasa.
Ketiga mengajarkan nilai kesabaran dan ketekunan. Salah satu pelajaran berharga dalam dunia saham adalah bahwa tidak semua hal bisa diperoleh dalam semalam. Ini bisa mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kesabaran dan ketekunan dalam mencapai tujuan jangka panjang.
Tapi dibalik beberapa potensi di atas pengajaran pengetahuan saham sejak SD bisa juga mendatangkan dampak negative seperti:
Pertama, Beban Kognitif yang Berlebihan. Mengajarkan hal yang terlalu rumit kepada anak yang sedang berkembang bisa membuat mereka merasa tertekan dan kebingungan. Bisa-bisa, mereka malah kehilangan minat terhadap pelajaran lain yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka sehari-hari.
Kedua, Risiko Tumbuhnya Sikap Konsumerisme. Dunia saham seringkali dikaitkan dengan keuntungan cepat dan spekulasi. Jika tidak disampaikan dengan bijak, anak-anak bisa menganggap uang adalah segalanya, tanpa memahami nilai kerja keras dan etika.
Ketiga, Ketidakpastian Pemahaman. Tidak semua anak memiliki latar belakang ekonomi yang sama. Mengajarkan saham tanpa pemahaman yang cukup bisa menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan finansial di masa depan.
Pertimbangkan Perspektif Anak
Dari sudut pandang anak, dunia yang mereka hadapi setiap hari sudah cukup penuh dengan pelajaran yang lebih mendasar. Dunia yang sederhana namun penuh warna, seperti belajar mengenal teman, bermain, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Saham? Mungkin itu lebih masuk akal jika mereka belajar mengenal konsep seperti menabung atau berhemat dulu.
Tapi ingat, anak-anak sering kali memiliki potensi untuk belajar hal-hal besar dengan cara yang menyenangkan. Kalau pendekatan yang digunakan kreatif—misalnya dengan menggunakan permainan simulasi pasar saham atau cerita-cerita menarik yang menggabungkan teori ekonomi dengan kehidupan mereka—mungkin mereka bisa lebih mudah menyerap konsep ini tanpa merasa tertekan.
Memang, jika kita melihat negara-negara lain, ada yang sudah lebih dulu memasukkan literasi keuangan ke dalam kurikulum mereka. Singapura misalnya, literasi keuangan sudah mulai diperkenalkan di sekolah dasar. Tujuannya ialah agar anak-anak bisa mengelola uang mereka dengan bijak sejak usia muda. Di Amerika Serikat, beberapa negara bagian juga sudah memasukkan pelajaran ekonomi dasar ke dalam mata pelajaran sekolah dasar dan menengah. Tentunya, mereka juga memiliki sistem pendidikan yang dirancang untuk mendukung pemahaman konsep-konsep ini dengan cara yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak langsung meniru tanpa mempertimbangkan konteks lokal. Setiap negara memiliki budaya dan tantangan ekonomi yang berbeda, dan sistem pendidikan kita harus bisa menyesuaikan diri agar tidak menjadi beban bagi anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan dasar.
Jadi, apakah mengajarkan saham kepada anak SD adalah langkah yang cerdas ataukah hanya impian yang terlalu ambisius? Mungkin jawabannya adalah kombinasi dari keduanya. Seperti kata Albert Einstein, “Jika Anda tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan cara yang sederhana, berarti Anda belum memahaminya dengan baik.” Jika pendidikan pasar modal ingin diterapkan di SD, maka harus dilakukan dengan cara yang kreatif, menyenangkan, dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Jangan sampai kita membuat mereka lebih pusing daripada menikmati pelajaran kehidupan yang lebih sederhana dan relevan dengan dunia mereka saat ini.
Untuk keperluan ini, mungkinkah kita harus merevisi konsep dongeng Si kancil dan Petani yang melegenda. Misalnya di dongeng tersebut Si Kancil menyampaikan pesan lucu tentang literasi keuangan dengan gaya khasnya yang licik. “Kancil mungkin suka mencuri timun, tapi jika aku tahu cara menanam dan menjual timun di pasar saham, mungkin aku akan lebih kaya daripada petani itu!” begitu kira-kira?
Yang jelas, langkah ini perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya soal memberikan pengetahuan, tapi juga membentuk karakter. Mari kita lihat apakah kurikulum yang akan datang bisa membuat anak-anak lebih cerdas secara finansial tanpa kehilangan keinginan mereka untuk terus bermain dan berimajinasi!
“Hati-hati dengan apa yang kau pelajari, anak-anak. Menjadi terlalu terobsesi pada emas bisa membuatmu kehilangan kehangatan pelukan. Ingat, kekayaan sejati adalah cinta dan kebahagiaan!” mungkin pesan dari kisah tragis Raja Midas dalam Dongeng Legenda Raja Midas ini layak untuk kita renungkan.Tabik.