Home Berita Pala Papua Dulu Diabaikan, Kini Diburu Industri Parfum Dunia Berkat Perempuan Adat

Pala Papua Dulu Diabaikan, Kini Diburu Industri Parfum Dunia Berkat Perempuan Adat

85
Kaleka Fak Fak Trip_Papua
Kaleka Fak Fak Trip_Papua

Pada pagi yang lembap di dusun Pangwadar, suara debur ombak terdengar samar di kejauhan, menyusup di antara rimbunnya hutan tropis. Di sinilah Mama Siti, 52 tahun, bersama 118 perempuan lainnya, mengubah sejarah—tidak dengan senjata, tapi dengan tangan telaten yang membersihkan, memisahkan, dan menjemur buah pala.

CSRINDONESIA – Pohon pala (Myristica argentea), yang oleh masyarakat adat Fakfak disebut pohon kehidupan, dulunya nyaris tak dilirik. Pasarnya lesu, harganya tak sepadan dengan keringat yang tertumpah. Tetapi kini, industri parfum global—Hermès, Chanel, dan lainnya—mulai menoleh. Aroma yang sebelumnya dianggap biasa, perlahan menjadi bintang baru, berkat perjuangan sekelompok perempuan adat yang mengangkat kembali harkat komoditas warisan leluhur ini.
“Pohon pala Tomandin bukan sekadar pohon bagi kami. Ia penjelmaan perempuan,” ujar Mama Siti. Dan seperti perempuan, ia harus dihormati, dijaga, diperlakukan dengan kelembutan. Maka, dua bulan sebelum panen, ritual wewowo dilakukan: pohon-pohon ‘dikenakan’ kebaya—sebuah perlambang larangan untuk memanen pala muda. Sebuah kearifan ekologis yang tak tertulis, namun dijalani turun-temurun.
Dari Dapur ke Laboratorium Dunia
Namun tradisi saja tak cukup melawan pasar global yang kejam. Di sinilah Kaleka, lembaga sosial lokal, masuk dengan pendekatan ekonomi restoratif melalui program Wewowo Lestari. Kaleka mendampingi para perempuan dengan pelatihan pengolahan, pengeringan menggunakan solar dryer, hingga edukasi tentang standar operasional produksi. Hasilnya? Pendapatan petani meningkat 13–40 persen.
Venticia Hukom, asisten eksekutif Kaleka, menyebut satu capaian penting: tingkat ekstraksi minyak pala Papua kini naik dari 1% menjadi 3,5%. “Dulu industri parfum mengabaikan pala Papua karena oil extraction rate-nya rendah. Kini, berkat penelitian bersama AFDN Prancis, kami membuktikan potensinya setara, bahkan lebih unggul karena lebih ramah lingkungan,” ungkapnya.
Kaleka | Petani Pala_Fak Fak Papua
Kaleka | Petani Pala_Fak Fak Papua
Koperasi, Bukan Tengkulak
Koperasi Mery Tora Qpohi menjadi penghela utama roda ekonomi ini. Di bawah naungan perempuan, koperasi ini memotong jalur tengkulak, menyalurkan produk langsung ke pasar ritel dan laboratorium riset. Para petani mendapat pendapatan tambahan hingga 40%, sebuah angka yang di desa terpencil bisa berarti pendidikan anak, pengobatan, dan penghidupan yang lebih layak.
Tak hanya biji dan minyaknya, daging buah pala yang dulu membusuk kini diolah menjadi sirup dan manisan. Sebanyak 500 botol sari pala sudah dijual di cafe dan supermarket lokal. Dari aroma dapur menjadi aroma masa depan.
Melestarikan Hutan, Menghidupi Masa Depan
Fakfak, dengan 908.850 hektar hutannya, adalah paru-paru yang nyaris luput dari peta industri nasional. Namun kini, melalui pala dan perempuan adat, ia menjadi teladan pengelolaan komoditas lestari. Sekitar 26.927 masyarakat adat menggantungkan hidup pada 56 pohon pala per hektar—dan kini mereka tak lagi hanya menggantungkan harapan.
“Inisiatif ini menunjukkan bahwa pelestarian alam tak harus berarti kemiskinan,” tutur Mama Siti. “Kami bisa menjaga hutan tanpa bergantung pada tambang atau sawit. Pala memberi kami makan, tanpa menebang.”
Mama Siti
Mama Siti
Visi 15 Tahun ke Depan
Venticia punya visi berjangka: lima tahun ke depan, koperasi sosial yang dipimpin masyarakat adat berdiri tegak, menjual pala layaknya nilam dan rumput laut dari daerah lain. Sepuluh tahun lagi, hutan adat Fakfak diakui negara. Lima belas tahun ke depan? “Kami membayangkan Fakfak jadi klaster industri parfum, minyak atsiri, dan produk perikanan yang berbasis adat dan lingkungan.”
Dalam dunia yang kerap mengukur nilai dari volume ekspor dan pertumbuhan GDP, kisah Mama Siti dan pala Tomandin adalah pengingat: bahwa kemajuan bisa berakar pada kearifan lokal, pada wewangian yang tumbuh di bawah naungan kebaya, dan pada tangan-tangan perempuan yang tak hanya menghidupi, tapi juga menghidupkan kembali tanah mereka.
Di antara dedaunan yang menggugurkan aroma manis, sejarah baru Papua tengah ditulis. Dan itu berbau pala.|WAW-CSRI