Home CSR Agraris PAJAK REGRESIF  ADALAH REWARD SYSTEM PEMACU MENINGKATNYA PRODUKTIVITAS

PAJAK REGRESIF  ADALAH REWARD SYSTEM PEMACU MENINGKATNYA PRODUKTIVITAS

24

PAJAK REGRESIF  ADALAH REWARD SYSTEM PEMACU MENINGKATNYA PRODUKTIVITAS

(Contoh pada Kelapa Sawit)  Memet Hakim

Dosen, Konsultan & Senior Agronomis

Wanhat APIB & APP TNI

 

 

Pajak Regresif adalah system Reward & Punishment  bagi Badan Usaha tetapi dapat pula dikenakan untuk orang per orang yang menelantarkan lahannya. System ini akan mendatangkan dolar dan menyerap tenaga kerja, mengurangi angka kemiskinan. Pajak Regresif hanya cocok untuk bidang yang dapat dipacu produktivitasnya tanpa merusak lingkungan yakni bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan yang seluruhnya menggunakan sumberdaya alam berupa tanah dan air. Dengan pajak ini, pemerintah memaksa petani, buruh tani/karyawan dan Badan Usaha menjadi lebih kaya secara finansial.

Saat ini banyak penguasaan lahan yang tidak ditanami apapun, tentu ini merupakan kerugian buat Negara dan Rakyat secara keseluruhan. Lahan yang tidak ditanami itu, hasilnya nol tidak ada kontribusinya buat rakyat dan negara, termasuk bagi pemiliknya. Dilain pihak UUD 45 pasal 33 menyatakan 3 hal sebagai berikut.

  1. Perekonomian disusun sebagai “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. “Bumi dan air dan kekayaan alam” yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. “Kemakmuran Masyarakat”lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orangseorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah “koperasi”.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang ! Sebab itu “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara”. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Kasus ini telah banyak terjadi, padahal jika ada aturan yang tidak sesuai dengan UUD45 ini tentu batal demi Hukum.

“Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang”. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokokpokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Nah terkait pasal 33 UUD45 dan fakta dilapangan yang ternyata banyak merugikan rakyat dan negara, maka Pajak Regresif ini merupakan jawabannya. Tujuan pajak ini adalah untuk merangsang Pemerintah Daerah dan pemilik lahan untuk membuat agar lahan tersebut menjadi produktif. Apabila lahan tersebut jadi produktif, maka  pemilik lahan, rakyat sekitar dan negara diuntungkan semuanya.

Pada dasarnya Pajak Regresif dilakukan agar Sumber Daya Alam khususnya di Bidang Pertanian Pangan, Perkebunan, Perikanan, Kehutanan dikelola supaya lebih produktif. Jika penguasaan tanah hanya dilakukan untuk simpanan atau spekulatif harus dinenakan pajak tinggi, sedang yang produktif bahkan produktivitasnya sangat tinggi justru harus dibebaskan.  Dengan demikian orang per orang atau badan usaha yang menggunakan lahan tersebut harus diusahakan dengan baik. Keuntungan buat negara adalah saat produk pertanian tersebut diolah menjadi barang jadi dan dikenakan PPn, maka jumlah PPn nya akan berlipat. Pada Badan Usaha PPh (Pajak Penghasilan) demikian juga, walau prosentase PPhnya mengecil, tetapi jumlahnya uangnya semakin banyak.

Lahan kosong pada Real Estate, harus dikenakan pajak jauh lebih tinggi, karena telah merugikan system pangan Nasional dengan mengambil lahan sawah produktif untuk dijadikan perumahan. Polanya bertingkat menurut luasan, semakin luas semakin tinggi pajaknya. Namun apabila lahan tersebut ditanami padi misalnya tentu saja pajak lahan tersebut disesuailan dengan besaran pajak regresif. Dengan demikian penguasaan lahan secara spekulatif akan semakin berkurang.

HGU merupakan hak tertinggi pada areal Perkebunan dan pertanian secara luas. Lahan kosongnya dikenakan pajak lebih tinggi dibandingkan lahan yang ditanami. HGB, SHM pada Real Estate yang arealnya melebihi kewajaran, jika lahannya dibiarkan kosong dan tidak produktif, harus dikenakan pajak lebih tinggi lagi. Real Estate merupakan salah satu bidang yang sangat berperan di dalam mengurangi “Produksi Pangan Nasional”, sangatlah wajar jika dikenakan penalty terbesar jika lahannya dibiarkan kosong, akan tetapi harus pula diberikan reward jika lahannya tetap produktif.

Dampak Pajak Progresif ini, akan mengurangi pengangguran dan mengurangi urbanisasi  dan angka kemiskinan. Dengan naiknya produktivitas maka beras, gula, jagung, hortikultura, ikan. Indonesia tidak perlu impor lagi, Dolar yang biasa digunakan, akan digunakan untuk petani lokal. Untuk Ubi Kayu, Kelapa Sawit dimana Sebagian produknya digunakan untuk energi, tentu impor  minyak fosilnya juga berkurang. Indonesia dapat banyak berhemat dolar dan bahkan dapat memperoleh dolar jika ekspor.

Hak Pengusahaan Hutan misalnya pada bidang Kehutanan, jika ditanami kembali dan hasilnya produktif, cukup dikenai pajak biasa, akan tetapi jika ternyata tidak ditanami lagi, harus dikenakan Pajak yang tinggi, karena telah merugikan pendapatan Negara dan Rakyat setempat.

Di Perikanan darat maupun laut, sama saja jika ijin tidak dimanfaatkan dengan baik, sedang orang lain tidak dapat memanfaatkan wilayah penangkapan ikan disitu, tentu pendapatan Negara berkurang, pendapat ybs pun berkurang, penyerapan tenaga juga berkurang. Jadi semuanya akan merugi.

Selain itu Perusahaan asing di Bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan tentu harus membayar Royalti sebagai selain pajak sebagai “tanda pengakuan atas penggunaan fasilitas Negara Indonesia”. Begitu pula di Bidang Pertambangan yang lebih merusak lingkungan royaltinya harus lebih besar lagi

Singkatnya jika pemerintah ini membawa rakyatnya lebih makmur, bidang Pertanian harus mendapat perhatian khusus. Bidang Pertambangan juga perlu diintensifkan. Barang tambang itu bukan milik Pemerintah, tapi milik Negara dan bangsa dan harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak Regresif di bidang Pertambangan teknisnya berbeda dengan di Bidang Pertanian. Ada pra syarat agar pajak regresif itu berjalan dengan baik yakni perbaiki iklim usahanya antara lain harga komoditi diatur supaya lebih menarik, pupuk subsidi disiapkan, Bulog diberdayakan seperti yang seharusnya dan ijin impor pangan diperketat dan peran importir swasta untuk pangan dihilangkan.

Contoh Simulasi Pajak Regresif pada Kebun Kelapa Sawit sebagai berikut :

  1. Pajak Bumi dan Bangunan Regresif pada Petani Kelapa Sawit
No   URAIAN Protas %
Ton TBS PBB
1 Protas  TBS   ≤ 12 200
2 Protas  TBS   12-18 150
3 Protas  TBS   18-25 100
4 Protas  TBS   25-30 75
5 Protas  TBS   ≥ 30 25

 

 

 

  1. Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Regresif pada Badan Usaha Kelapa Sawit
No URAIAN Protas % Pajak %
Ton MS PBB PPh ROYALTY
1 Protas Minyak Sawit ≤ 3 200 25 50
2 Protas Minyak Sawit 3-4 150 20 40
3 Protas Minyak Sawit 4-5 100 15 30
4 Protas Minyak Sawit 5-6 75 10 25
5 Protas Minyak Sawit ≥ 6 25 5 20

 

  1. Pendapatan Petani dan BU Kelapa Sawit Setelah Pajak Regresif (Rp/Ha/Tahun)
No URAIAN Protas Pendapatan bersih Rp/Ha (Jutaan)
Ton TBS Ton MS PR PBS PBN PBA
1 Protas Sangat Rendah ≤ 12 ≤ 3       2.8         7.13       7.13       3.56
2 Protas Rendah 12-18 3-4       9.8       12.80     12.80       7.68
3 Protas  Sedang 18-25 4-5     17.9       19.81     19.81     13.86
4 Protas  Agak Tinggi 25-30 5-6     28.7       28.04     28.04     21.03
5 Protas Tinggi ≥ 30 ≥ 6     35.8       38.05     38.05     30.44

Asumsi Harga TBS Rp.2.200/Kg, Harga Minyak Sawit (CPO & PKO) Rp 11.000/Kg, Kurs usd 16.000, Luas 17 jt Ha

 

Contoh diatas  dapat diterapkan pada setiap komoditi dengan prinsip Produktivitas rendah pajaknya tinggi dan produktivitas tinggi pajaknya rendah. Pada komoditi kelapa sawit saja ternyata pendapatan Negara “berpeluang” menjadi Rp 440 trilyun/Tahun. Jika semua areal ber “jin Usaha Perkebunan” yang sebanyak  20.5 juta ha  (Ijin Lokasinya 23.5 juta ha) ditanami kelapasawit seluruhnya,  maka pendapatan negara menjadi Rp 531 trilyun. Devisa jauh lebih besar lagi yakni Rp 1.272 trilyun (66 % dari APBN 2024), dengan catatan laba usaha Perusahaan Asing yang besarnya tidak mengendap di Luar Negeri.

 

  1. Pendapatan Negara dari komoditi kelapa sawit 17 juta ha per tahun

 

No URAIAN Protas Luas Prod. Total Pendapatan (T) Total Grand Total Jumlah Devisa
Ton MS Ha M.Sawit BK @ USD 18 PE @ USD 75 PPn (12%) Semua Rp Trilyun)
1 Protas M Sawit ≤ 3 17 47.6 14.14 64.26 62.83 141.23 234.08  523,6
2 Protas M Sawit 3-4 17 64.6 19.19 87.21 85.27 191.67 299.51  710,6
3 Protas M Sawit 4-5 17 81.6 24.24 110.16 107.71 242.11 352.37  897,6
4 Protas M Sawit 5-6 17 98.6 29.28 133.11 130.15 292.55 404.73  1,084,6
5 Protas M Sawit ≥ 6 17 115.6 34.33 156.06 152.59 342.99 440.70  1,271,6
       

 

Devisa sejumlah Rp 1.272 trilyun per tahun termasuk Rp 531 trilyun yang masuk ke kas Negara akan berputar di daerah hanya dari kelapa sawit saja, tentu akan berdampak positip bagi perkembangan daerah. Bayangkan jika pendapatan dari Padi, Gula, Jagung, ubi Kayu, HPH, dll dihitung, rasanya tidak pantas ada orang miskin di negara kita.

 

Bandung, 16 Juli 2024