Home Humaniora Pagar Laut

Pagar Laut

63
THE OLD MAN AND THE SEA, karya legendaris Ernest Hemingway | IST

Pagar Laut*

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono

Desa nelayan di pesisir Banten ini mempunyai sebuah cerita yang tidak pernah ada habis-habis untuk dibicarakan. Cerita tentang laut yang kini berpagar. Pagar laut, begitu mereka menyebutnya. Pagar yang terbuat dari bambu atau cerucuk dengan ketinggian rata-rata 6 meter itu di atasnya dipasang anyaman bambu, paranet, dan juga dikasih pemberat berupa karung berisi pasir. Dibuat memanjang lebih dari 30 kilometer, membelah laut menjadi potongan-potongan seperti kue ulang tahun yang tak pernah dirayakan.

Pak Diman, nelayan tua yang usianya hampir sebanding dengan umur perahu kecilnya, duduk di warung kopi. Ia memandang ke arah laut dengan pandangan yang sudah kehilangan sinarnya.

“Laut itu bukan cuma tempat kita cari makan. Itu rumah kita. Sekarang rumah kita dipasangi pintu pagar, dan kita nggak punya kuncinya,” keluhnya seraya menghela napas dalam-dalam.

Bu Saeni, sang pemilik warung kopi, mengangguk. “Betul, Pak Diman. Dulu waktu pertama pagar itu muncul, kita sudah mencoba teriak. Tapi apa yang kita dapat? Diam. Seperti berteriak di tengah badai, hilang ditelan angin.”

Seorang pemuda yang baru pulang dari kota, Raka, turut menyela, “Itu bukan sekadar badai, Bu. Itu badai politik. Sudah biasa rakyat kalah melawan angin yang datang dari gedung-gedung tinggi pemerintahan.”

Sontak, atmosfer warung itu pun penuh dengan tawa getir, ironi yang begitu tebal hingga bisa dipotong dengan pisau tumpul. Mereka tahu, tawa adalah pelarian dari kenyataan yang pahit.

Seiring waktu, pagar itu semakin panjang. Dari mulut ke mulut, cerita-cerita tentang pemilik pagar itu beredar. Namun semuanya seperti mengandung misteri. Ada yang bilang itu proyek rahasia, ada yang berpendapat itu ulah mafia laut, dan yang paling gila, ada yang percaya bahwa itu adalah bagian dari rencana konspirasi alien untuk mengambil ikan-ikan terbaik dari Samudra di planet bumi.

Namun, di tengah semua teori itu, pemerintah tetap bungkam. Sampai suatu hari, berita tentang pagar itu akhirnya meledak di media sosial. Sebuah video viral memperlihatkan seorang nelayan yang menangis di atas perahunya karena tidak bisa menjaring ikan. “Laut ini milik kami,” kata nelayan itu, “tapi sekarang seperti kami hanya tamu di rumah sendiri.”

Barulah setelah itu, pemerintah bergerak. Tapi tidak seperti seorang pelari maraton, lebih seperti seseorang yang malas mengangkat kaki dari sofa. Lambat dan setengah hati.

Sementara itu, di warung kopi, perdebatan semakin memanas. Pak Diman mengutip dari novel kesayangannya, The Old Man and The Sea karya Hemingway. “Man is not made for defeat, manusia tidak diciptakan untuk kekalahan” katanya sambil mengetuk meja dengan ujung jarinya. “A man can be destroyed but not defeated,” sambungnya. “Seseorang bisa dihancurkan, tetapi tidak bisa dikalahkan,” jelasnya.

“Bagus, Pak. Tapi kayaknya kalau begitu kita sudah kena dua-duanya. Destroyed dan defeated sekaligus ya pak,” kata Bu Saeni, disambut tawa kecil dari yang lain.

Raka, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, menambahkan, “Ironis, ya? Hemingway menulis tentang perjuangan manusia melawan alam, tapi di sini kita harus berjuang melawan manusia lain. Padahal kita sama-sama manusia, sama-sama butuh laut.”

Pak Diman menatap Raka. “Namun perjuangan kita ini, tetap seperti Santiago melawan ikan marlin lho. Bedanya, di cerita itu ada akhir yang heroik. Tapi di sini? Kita ini seperti ikan kecil yang dicuri hiu,” jelasnya getir.

Karena semakin viral, akhirnya pemerintah memberi pernyataan resmi. Namun hasilnya hanya membuat rakyat semakin geram. “Pagar itu adalah swadaya masyarakat,” kata seorang juru bicara pemerintah dalam sebuah konferensi pers. Pernyataan itu langsung memicu tawa sinis dari seluruh penjuru desa.

“Swadaya masyarakat?” tanya Bu Saeni. “Masyarakat mana yang punya uang bikin pagar sepanjang itu? Bahkan buat beli kopi di sini aja pada ngutang.”

“Luar biasa, ya,” kata Raka sambil menggelengkan kepala. “Kalau ada yang salah, kita yang disalahkan. Kalau ada yang benar, mereka yang dapat pujian.”

Pak Diman, yang biasanya tenang, akhirnya tak tahan juga. “Negara ini katanya punya sumber daya melimpah. Tapi buat mengusut pagar di laut saja, mereka bingung. Apakah kita ini terlalu kecil untuk didengar, atau mereka yang terlalu besar untuk peduli?”

Seiring obrolan satir yang terus bergulir, malam semakin larut, percakapan di warung kopi itu berubah menjadi sesuatu yang lebih sunyi. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Di kejauhan, pagar itu berdiri kokoh, seperti monster yang mengintai di kegelapan.

Di tengah keheningan itu, Raka tiba-tiba berkata, “Aku tahu apa yang harus kita lakukan.” Tak ayal semua mata menatapnya penasaran.

“Apa?” tanya Pak Diman.

“Kita tulis cerita ini. Biar orang tahu. Kalau pemerintah terlalu sibuk dengan alasan, biar kita yang kasih mereka kenyataan.”

Mereka saling pandang, lalu mengangguk. Malam itu, di warung kopi kecil di pesisir Banten, cerita tentang pagar laut mulai ditulis. Sebuah kisah tentang nelayan, tentang laut yang terkapling, dan tentang perjuangan yang tak pernah selesai. Sebuah kisah yang, seperti kata Hemingway, mungkin tak akan pernah mengalah, meski bisa dihancurkan. Tentu saja cerita ini tak akan sebagus cerita “The Old Man and The Sea” nya Hemingway yang mampu memenangkan nobel sastra. Namun setidaknya cerita ini bisa menjadi kawan bagi seluruh nelayan lainnya yang laut-laut di sekitarnya mulai terkapling oleh keserakahan kaum kapitalis dan oligarki yang menguasai negeri. []


*) terinspirasi oleh berita: https://jakartasatu.com/2025/01/11/ada-menteri-galak-minta-pagar-laut-dibongkar-tapi-tiba-tiba-melempen/