Survei ILO pertama tentang Pekerjaan Layak di Sektor Perikanan Laut, bekerja sama dengan BRIN, mengungkapkan beberapa defisit pekerjaan layak yang signifikan di Indonesia. Kendati ada sejumlah kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, studi ini menyoroti perlunya langkah-langkah percepatan, termasuk memperkuat peraturan, investasi dalam pengembangan keterampilan serta formalisasi sektor ini dengan perlindungan yang besar bagi pekerja.
CSRINDONESIA – Sektor perikanan di Indonesia, yang menjadi salah satu pilar utama ekonomi maritim nasional, masih menghadapi tantangan besar dalam menciptakan kondisi kerja yang layak bagi para pekerjanya. Survei Pekerjaan Layak di Sektor Perikanan Laut 2024, yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkap berbagai fakta mencengangkan mengenai kondisi kerja para pekerja perikanan tangkap di Tanah Air.

Dibalik Kejayaan Industri Perikanan
Menurut survei ini, lebih dari 2,36 juta orang bekerja di sektor perikanan laut di Indonesia, dengan mayoritas bekerja di kapal penangkap ikan. Mereka menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari cuaca ekstrem hingga eksploitasi ketenagakerjaan. Pekerja perikanan tangkap sering kali bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, termasuk jam kerja berlebihan, gaji yang tidak menentu, hingga ancaman kerja paksa.
Salah satu fakta mencolok dari survei ini adalah rendahnya tingkat kontrak kerja tertulis di antara pekerja perikanan. Hanya 9,3 persen pekerja yang memiliki kontrak kerja resmi, sementara mayoritas hanya mengandalkan kesepakatan lisan atau bahkan tidak memiliki kesepakatan sama sekali. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan pemutusan kerja sepihak.
Jam Kerja Panjang dan Sistem Pembayaran yang Tidak Pasti
Berdasarkan Konvensi ILO No. 188, pekerja perikanan harus memiliki waktu istirahat minimum 10 jam dalam 24 jam dan 77 jam dalam tujuh hari. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa 15,8 persen pekerja perikanan di Indonesia bekerja lebih dari 14 jam per hari, dengan 11,3 persen bekerja lebih dari 91 jam per minggu. Pekerja di kapal ukuran sedang dan besar paling banyak mengalami jam kerja berlebihan.
Sistem pembayaran juga menjadi tantangan tersendiri. Sebanyak 62,7 persen pekerja dibayar berdasarkan sistem bagi hasil tangkapan, yang berarti pendapatan mereka sangat bergantung pada jumlah ikan yang berhasil ditangkap. Hanya 4,5 persen pekerja yang mendapatkan upah tetap. Sistem ini menciptakan ketidakpastian finansial yang tinggi bagi pekerja perikanan, terlebih ketika mereka harus menanggung biaya rekrutmen sendiri.

Ancaman Kerja Paksa dan Perdagangan Orang
Temuan paling serius dari survei ini adalah keberadaan praktik kerja paksa di sektor perikanan. Sebanyak 1,5 persen pekerja perikanan di Indonesia dilaporkan berada dalam kondisi kerja paksa, dengan berbagai bentuk pemaksaan seperti penahanan dokumen identitas, ancaman fisik, serta jeratan utang yang menghalangi mereka untuk meninggalkan pekerjaan. Selain itu, 1,2 persen pekerja ditemukan menjadi korban perdagangan manusia untuk tujuan kerja paksa.
“Kerja paksa dan perdagangan orang di sektor perikanan adalah masalah serius yang memerlukan perhatian segera. Indonesia telah memiliki berbagai regulasi untuk menangani isu ini, tetapi penegakannya masih menjadi tantangan,” ujar seorang peneliti dari BRIN yang terlibat dalam survei ini.

Minimnya Jaminan Sosial dan Keselamatan Kerja
Sektor perikanan juga mencatat rendahnya tingkat kepesertaan dalam program jaminan sosial. Sebanyak 71 persen pekerja tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan, sementara 55 persen tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial kesehatan. Padahal, risiko kecelakaan kerja di kapal penangkap ikan sangat tinggi, dengan hampir 45 persen pekerja melaporkan menghadapi kondisi berbahaya seperti badai, gelombang besar, atau kecelakaan akibat minimnya alat pelindung diri (APD).

Rekomendasi dan Langkah ke Depan
Berdasarkan temuan survei, ada beberapa langkah mendesak yang perlu diambil untuk meningkatkan kondisi kerja di sektor perikanan, antara lain:
- Ratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang standar ketenagakerjaan di sektor perikanan untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja.
- Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik ketenagakerjaan yang eksploitatif, termasuk pemberantasan kerja paksa dan perdagangan manusia.
- Menyediakan skema pembayaran yang lebih adil dan transparan, termasuk memastikan pekerja mendapatkan upah yang layak dan tidak hanya bergantung pada sistem bagi hasil.
- Memperluas cakupan jaminan sosial bagi pekerja perikanan agar mereka mendapatkan perlindungan yang memadai dari risiko pekerjaan mereka.
- Mendorong pendidikan dan pelatihan bagi pekerja perikanan, terutama dalam aspek keselamatan kerja dan hak-hak ketenagakerjaan.
Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja memiliki peran penting dalam mewujudkan perubahan ini. Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, jutaan pekerja perikanan di Indonesia akan terus terjebak dalam siklus eksploitasi dan ketidakpastian yang berkepanjangan.
“Laut memberikan kehidupan bagi banyak orang, tetapi bagi para pekerja perikanan, laut juga bisa menjadi tempat eksploitasi dan penderitaan. Saatnya kita memastikan bahwa mereka mendapatkan hak dan perlindungan yang layak,” tutup laporan survei ini. |WAW-CSRI