CSRINDONESIA – ‘Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu, Ibuku, sayang, masih terus berjalan, Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih, yang engkau berikan, tak mampu ‘ku membalas, Ibu…..Ibu.’
Bait syair syahdu ini dipopulerkan oleh Iwan Fals pada tahun 1988 yang hits hingga saat ini. Ibu, dari dulu hingga kini sebagai simbol ibu pertiwi dan keberkahan doa yang melumuri tubuh setiap anak. Lagu ini menjadi suatu ikon untuk mempersembahkan sebuah lagu untuk hari ibu yang jatuh Selasa, 23 Desember 2020.
Riwayat hari ibu ini bermula pada saat diadakannya Kongres Perempuan Indonesia ke III ( 22-27 Juli 1938), di Bandung. Hari ibu ini bertepatan juga pada kongres organisasi perempuan dari Sumatera dan Jawa yang diadakan pada 22 Desember 1928.
Pertemuan itu dilatarbelakangi kepentingan untuk mendiskusikan nasib perempuan Indonesia pada saat itu, dengan memperjuangkan hak-haknya, memberikan pendidikan bagi anak perempuan yang setara dengan kaum pria. Dalam budaya patriarki, seringkali perempuan dianggap hanya sebatas ‘konco wingking’ saja yang mempunyai tugas 3 M (masak, macak/berdandan dan manak/ beranak/ melahirkan), serta persoalan-persoalan sosial lainnya kedudukan perempuan sebagai sub ordinat di masyarakat dalam budaya patriarkhi.
Budaya ini juga pernah dirasakan oleh seorang Puji Lestari, perempuan energik yang juga dijuluki sebagai ‘Srikandi Jurnal Komunikasi” Indonesia di dunia akademisi dan pengelolaan jurnal, bernama lengkap, Dr. Puji Lestari, SIP, M.Si, sudah tak asing lagi di antara mereka. Siapa sangka wanita bersahaja ini menyimpan kenangan manis dan pahit dalam perjalanan hidupnya menempuh pendidikan sampai doctor bahkan kini sebagai kandidat Professor. “Doakan saya ya pada tahun depan nanti saya sudah disematkan menjadi Profesor dalam bidang Komunikasi,” mengawali pembuka wawancara yang dilakukan daring, by zoom meet pada (21/12/2020)
Sebagai gadis desa yang lahir di Klaten pada 25 Juni 1970 (50 tahun), Puji kecil sudah memiliki cita-cita yang tinggi.
“Kalau saja saya salah memilih teman dalam hidup ini, mungkin cita-cita saya tak akan berhasil” Kata Puji. Ia menjelaskan, dimana harus memilih diantara dua kubu kawan-kawan yang tidak bersekolah ataukah yang bersekolah. Cita-citanya untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya membuat semangat membara tersendiri baginya. Sebagai anak desa yang selalu haus ilmu pengetahuan, sekolah tinggi menjadi cita-citanya. Oleh karenanya setamat SMP, Puji kecil yang beranjak remaja ini, menyampaikan niatnya kepada orangtuanya untuk bersekolah favorit di kota Yogyakarta, ‘Stella Duce” sekolah khusus para putri yang menjadi impiannya.
Sebetulnya, saat masuk kesini, saya merasa agak minder. Karena kawan-kawan saya kebanyakan anak orang kaya dan bermata sipit. Di sana mental saya tertempa, disaat merasa minder, ada kawan dekat seorang pria yang setia mendampingi dan terus memberikan semangat. Akhirnya saya menjadi tekun belajar dan usaha ini membuahkan hasil karena nilai-nilainya menjadi bagus. Karena kelebihannya inilah teman-temannya yang keturunan, sering datang dan bertanya pada Puji, dan itu menumbuhkan rasa percaya diri yang dalam baginya.
Saat di SMA dulu itu, Puji memang sudah dekat dengan laki-laki yang dianggapnnya kakak dan teman dekat itu, berasal dari desa yang sama dan juga sudah sama-sama diketahui oleh kedua orang tuanya. Saat menjelang ujian akhir, ia harus memutuskan pada kelangsungan hidupnya yang akan berimbas sampai kini. Ibunya memberikan ultimatum selesai sekolah SMA, menikah atau kuliah. Meski dengan berat hati Puji memutuskan hubungan dengan pria itu yang disebutnya Mas (kakak), untuk meneruskan kuliah dan di terima pada Komunikasi Univesitas Gajah Mada (UGM)-Yogyakarta.
Saat di Univesitas, Puji Lestari masuk suatu organisasi VSSC (Virtus Social Study Club), sebuah kelompok diskusi mahasiswa di UGM.
“Yang paling berkessan dan tak bisa dilupakan adalah kedisipinan dan integritas dalam organisasi. Pimpinan organisasinya adalah orang Medan dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Sementara saya berkarakter asli Jawa, yang lamban….dan ternyata itu menyiapkan mental saya untuk memperoleh pasangan hidup orang Karo dengan karakter dan gaya komunikasinya tegas, sehingga kadang salah dintepretasikan yang memberi kesan ‘galak’, disiplin serta gaya bicara yang terbuka dan apa adanya,” papar Puji, yang saat ini juga sedang mengurus kenaikan jabatan fungsional dari Lektor Kepala ke Professor.
Selain mengajar, membimbing skripsi dan tesis, serta disertasi mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta (UPNV) Yogyakarta, (S1, S2 dan S1 humas), ia juga mendampingi prodi di (UPNVY) yang akan akreditasi BAN PT serta menyiapkan naskah jurnal yang akan terbit di Jurnal Ilmu Komunikasi UPNVY edisi Desember 2020.
“Karena tugas saya selaku editor in chief di jurnal tersebut sekaligus berjuang untuk reakreditasi jurnal JIK UPNVY karena masa akreditasinya berakhir Agustus 2020 dan sudah dilakukan proses penilaian sampai akhir Desember 2020. Semoga hasilnya tetap bertahan terakreditasi di Sinta 2,” jelas ibu yang kini memiliki empat putra ini yang juga sering mendapatkan seabreg hibah penelitian.
Yang menarik disela-sela tugasnya sebagai Ketua Pusat Studi Wanita UPNV Yogyakarta, dan menjadi editor pada karya buku, ”Menari Dalam Badai, Gender dan Harapan di Tengah Pandemi ’ yang sudah launching pada 5 Desember tahun ini.
Sedangkan tugas eksternalnya, dengan melakukan penilaian akreditasi jurnal atau sebagai asesor jurnal Kemenristek. Ia juga melakukan review hasil penelitian para dosen di Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta (STMM”MMTC”), Sebagai Asesor LKD-BKD di STMM “MMTC”, dan juga sebagai anggota tim pakar pembuatan kurikulum Tular Nalar yang diselenggarakan oleh konsorsium Mafindo, Maaarif Institute, dan Love Franki, dengan melakukan koordinasi kegiatan Asosiasi Penerbit Jurnal Ilmu Komunikasi Indonesia (APJIKI) bekerja sama dengan Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam kegiatan Pelatihan penulisan Jurnal selama bulan Desember 2020.
Sebagai seorang ibu dan istri dari Konvrensi Ginting, SH,MM yang selalu mendukung penuh kegiatan-kegiatannya di luar. Seringkali ia harus keluar kota untuk melakukan akreditasi Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia bahkan sampai tempat-tempat terpencil di Sulawesi.
“Soal mengatur waktu antara karir dan keluarga, ini saya lakukan dengan diskusi terutama dengan suami. Ketika suami mendukung, saya baru menyetujui tawaran pekerjaan, sebaliknya kalau suami tidak mendukung, terpaksa menolaknya, hal ini dilakukan karena suami sangat tahu kompetensi dan kapasitas saya. Konsekuensi atas pengaturan waktu antara pekerjaan kantor dan di rumah yang menjadi tanggungjawab bersama. Sebenarnya kekuatan saya itu ada pada suami. Ada istilah bahwa di balik kesuksesan istri ada suami di belakangnya, dan sebaliknya di balik kesuksesan suami ada istri yang sangat mendukungnya. Ini harus senada dan seirama agar terjadi harmoni dalam rumah tangga maupun dunia kerja,”kisah Puji Lestari yang pernah memperoleh award sertifikat Best Paper Award (Internasional) pada Konferensi Internasional Komunikasi dan Media (2019) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini yakin.
Karya ilmiah (paper) dengan judul “Komunikasi Organisasi Pemerintah Daerah dalam Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Indonesia,” ditulis dari hasil kolaborasi Penelitian bersama Prof.Dr. Rajab Ritonga (Universitas Dr. Moestopo) dan Dr. Poppy Ruliana (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Inter Studi) dengan mengalahkan 120 paper lainnya.
Inilah sosok dari seorang Puji Lestari dengan kegigihannya mencapai cita, perjuangan sebagai perempuan, ibu dan seorang istri adalah gambaran perempuan di era digital saat ini, modern tapi juga tradisional dengan menganut keselarasan dan harmoni antara hubungan pribadi, sekitar, keluarga dan masyarakat.

Ketangguhan dan perjuangan dalam hidup adalah milik masing-masing pribadi yang bebas untuk mengukir dan menulis sendiri jalan hidupnya. Meski hidup, telah ditorehkan oleh sang Ilahi, namun itu bisa berubah kalau diri kita meyakininya, tak ada perjuangan yang sia-sia. Seperti juga kata yang diyakini bersama “Tuhan tak akan merubah nasib suatu kaum jika ia tidak berusaha pula untuk merubahnya” Doa, usaha dan campur tangan Tuhan adalah sebuah proses dalam pembelajaran dan kehidupan. Gusti Allah Mboten Sare yang artinya Tuhan Tidak Tidur
Namun begitu ketika sampai di rumah, tugas sebagai seorang istri dan ibu tetap dilakukannya dengan baik. Komunikasi adalah hal teramat penting yang harus dilakukan untuk menciptakan rasa saling menghargai, membutuhkan dan ungkapan rasa cinta pada keluarga dan masyarakat. Sebagai seorang sosial kegiatan komunitas Karo dan perkumpulan RT/RW sebulan sekali, juga tak pernah ditinggalkan untuk bersosialisasi pada sekitar
Dalam perjalanan hidupnya Puji lebih banyak merasakan suka (bahagia) ketimbang rasa duka. “Suka karena memperoleh penghasilan sendiri, memperoleh banyak pengalaman, banyak teman, kolega atau mitra kerja. Saya sangat menikmati pekerjaan saya di mana pun berada, baik luring maupun daring karena sesuai kompetensi dan komitmen saya. Susahnya, ketika ada beberapa tugas harus bersamaan waktunya. Saya pernah zoom di laptop dan hp dalam waktu yang bersamaan, sampai merasa kelaparan, akhirnya saat mahasiswa presentasi ujian skripsi, saya tutup kamera sambil makan,” ungkapnya sambil tertawa.
Di hari ibu ini, ia ingin juga berterimakasih kepada seorang ibu yang melahirkannya dan telah mendukung langkahnya serta selalu mendoakannya sampai sekarang ini. Baginya ibu sangat berperan juga dalam pembentukan karakter wejangannya untuk selalu berdoa, kerja keras, dan mandiri.
“Ibu memberi contoh nyata atas kemandiriannya dalam segala pekerjaan, ibu harus melakukannya,”tegasnya.
Mengutip pada laman FB nya di hari ibu, tertulis kata-kata indah dan menyentuh, “Ada kenangan setahun lalu di kala peringatan hari ibu, Kini bangun tidur sudah bisa ngobrol dan mijeti punggung ibu yang kurang nyaman. Semoga kita diberi kekuatan menjadi ibu yang sehat, tangguh dalam berbagai suasana, mengajarkan anak-anak untuk selalu berpikir kritis, memiliki perasaan simpati dan berperilaku empati kepada siapapun tanpa melihat perbedaan. Jadilah ibu yang tahu, tanggap dan tangguh dalam menularkan nalar yang baik kepada anak-anak dan komunitas di mana kita berada..” tandas salah satu perempuan dan ibu yang tangguh di abad milineal ini, modern tapi juga tradisional yang dapat menempatkan fungsinya sebagai seorang ibu di keluarga, lingkungan dan masyarakat.
“SELAMAT HARI IBU,” untuk semua para ibu dan perempuan Indonesia, tetaplah menjadi insipirasi bagi anak-anak dan generasi selanjutnya, menembus cakrawala tanpa batas. Mengejar mimpi dan angan sampai puncak, berkiprah di luar menjadi perempuan tangguh tapi lembut di dalam sebagai keseimbangan dan harmoni untuk keluarga, masyarakat, semesta dan alam sekitarnya. (susi Andrini)***