Mahbub Djunaidi. George Orwell. Binatangisme.
Oleh:
Oleh: Zainal Abidin
CSR Specialist, Direktur Mandiri Amal Insani Foundation,
Dosen CSR program MM Universitas Prasetiya Mulya
Di sebuah peternakan bernama Manor, ada segerombolan hewan yang hidupnya ngenes. Majikan mereka, Tuan Jones, lebih hobi mabuk daripada mengurus binatang peliharaannya. Ayam dibiarkan kelaparan, kuda diperas tenaganya, dan babi? Ah, ternyata mereka mulai berpikir untuk melancarkan kudeta. Si babi tua bernama Major berpidato panjang lebar suatu malam, intinya begini: “Hewan-hewan sekalian, sudah cukup kita diinjak-injak manusia. Mereka makan daging dan telurkita, minum susu kita, tapi balasannya cuma kerja rodi. Sudah waktunya kita revolusi!”
Heboh? Jelas. Semua hewan jadi paham, musuh bersama mereka adalah manusia. Lalu, tak lama setelah Major mangkat (karena umur tua, bukan ditembak manusia), mereka melancarkan kudeta. Si Tuan Jones diusir dengan penuh gegap gempita. Peternakan pun diambil alih dan dinamai ulang: Peternakan Binatang.
Awalnya? Wah, mulus. Semua bekerja untuk semua. Ada slogan keren: “Semua hewan setara.” Dipimpin oleh dua babi muda, Snowball yang pintar dan Napoleon yang licik, kehidupan jadi terasa lebih berwarna. Bahkan, Snowball mencanangkan proyek membangun kincir angin agar semua hewan hidup enak. Tapi, di sinilah mulai kacau: Napoleon, yang diam-diam merasa tersaingi, mengerahkan anjing-anjing preman buat mengusir Snowball. Jadilah Napoleon pemimpin tunggal.
Setelah itu, situasinya berubah. Aturan lama diam-diam diganti. Babi-babi mulai makan lebih enak, tidur di kasur empuk, dan minum-minuman manusia yang dulu mereka benci. Hewan-hewan lain? Tetap kerja rodi, hanya diberi harapan palsu. Slogannya diubah: “Semua hewan setara, tapi beberapa hewan lain punya standar kesetaraan yang berbeda daripayang lain.”
Sampai akhirnya, para hewan yang setia kerja keras seperti Boxer si kuda mulai bertanya-tanya: bukankah ini mirip seperti zaman Jones? Apalagi ketika mereka mengintip ke rumah peternakan, melihat babi dan manusia duduk satu meja, berpesta pora. Wajah babi dan manusia sulit dibedakan.
Jika Mahbub Djunaidi menerjemahkan karya Orwell ini sekarang, mungkin beliau akan memberi sentilan seperti, “Revolusi? Iya, awalnya manis. Tapi apa bedanya dari rezim sebelumnya kalau yang pegang kendali itu-itu saja? Di balik pidato penuh idealisme, jangan-jangan yang diincar cuma kursi empuk.”
Buku Animal Farm (diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi dengan judul Binatangisme) memang sebuah kisah personifikasi manusia. Menggigit, tapi tetap membumi. Kisah ini tak hanya relevan di peternakan fiktif, tapi juga di dunia nyata. Babi, manusia, atau pejabat, semua bisa sama saja kalau prinsipnya “yang penting saya kenyang duluan.” []