
OLEH Acep Iwan Saidi, Staf Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Pakar Semiotika
Pengantar
Topik pembicaraan yang diberikan kepada saya, “Corporate Social Responsibility” (CSR) dalam Tinjauan Semiotika”, menarik, tetapi tidak mudah. Dikatakan menarik sebab topik ini mencerminkan sebuah pemahaman terhadap realitas, dalam hal ini realitas bisnis (perusahaan) dan tanggungjawab sosialnya di masyarakat, dengan cara pandang kebudayaan kontemporer atau yang lebih spesifik sering disebut dengan istilah Kajian Budaya (cultural studies). Dalam perspektif ini, kebudayaan tidak lagi dilihat sebagai sebuah sistem nilai luhur tertentu dalam kehidupan, melainkan sebagai hal yang biasa-biasa saja, peristiwa keseharian yang kompleks dan renik (Barker, 2005).
Dengan perspektif tersebut, dalam wacana akademik kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai sebuah disiplin yang ketat. Alih-alih demikian, kebudayaan sebagai disiplin yang baku dan tersistemkan (ilmu) justeru terus-menerus dipertanyakan. Dari sinilah lantas muncul istilah interdisiplin dan kemudian transdisiplin. Interdisiplin dan transdisiplin adalah cara pandang metodologis yang mengintegrasikan berbagai disiplin yang relevan untuk memahami realitas (kebudayaan sebagai realitas keseharian).
Berdasar pada pemahaman tersebut, tinjauan atas CSR dengan semiotika sebagai dasar teoretiknya merepresentasikan keterlibatan berbagai disiplin ilmu di dalamnya. Konstruksi pengetahuan yang membentuk CSR sendiri sebenarnya sudah tidak monodisiplin. Paling tidak, di dalamnya kita menemukan problematika bisnis perusahaan berkelindan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, yang dengan demikian, disiplin ilmu bisnis bertemu dengan ilmu-ilmu sosial. Fakta ini menjadi semakin kompleks ketika, melalui topik perbincangan ini, semiotika dilibatkan sebagai model pembacaan.
Sayangnya, bagi saya, situasi demikian sekaligus menyebabkan topik ini menjadi tidak mudah. Masalahnya, cara baca semiotika membutuhkan jeda waktu yang cukup untuk mendekati lebih jauh objek yang dikaji sehingga konstruksi argumentasi atas hasil bacaannya menjadi kaya dan bergizi. Sedangkan CSR—yang mau tidak mau dalam konteks ini harus dikategorikan sebagai “objek semiotika”—masih merupakan “barang baru” buat saya.
Akan tetapi, tentu saja “tidak mudah” bukan berarti tidak bisa. Pada tulisan ini saya mencoba membongkarnya dengan mengambil aspek terdekat dalam relasi antara dunia perusahaan dan semiotika itu sendiri khususnya, dan ranah kajian disiplin ilmu saya secara umum, yakni budaya visual (visual culture). Aspek yang dimaksud adalah “produk” yang dihasilkan perusahaan, dalam hal ini terutama produk yang membenda (tangible), bukan yang nonbenda (jasa, intangible). Dalam perspektif semiotika, produk adalah sebuah wujud bahasa yang dengan begitu memiliki pesan dan makna di baliknya. Proses pembahasaan produk lebih jauh akan terjadi ketika produk tersebut diperkenalkan kepada publik melalui bidang pemasaran, produk yang telah dipindahkan ke lembaga atau perusahaan periklanan (advertising). Pada titik ini kita akan melihat nanti, sebatas mana CSR—yang lebih jauh saya akan tawarkan pendalamannya menjadi Corporate Culture Responsibility (CCR)—bisa dimainkan. Namun, sebelum sampai ke situ, hal terpenting yang harus dijelaskan adalah semiotika itu sendiri sebagai dasar teori dan model pembacaannya.
CSR sebagai Konstruksi Semiotika
Secara sederhana semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu menafsir tanda. Tanda itu sendiri adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Ilmu yang mulai berkembang pada paruh pertama abad ke-20 di Barat ini bersumber pada dua tokoh sebagai pelopornya, yakni Ferdinand de Saussure di Perancis dan Charles Sanders Peirce di Amerika (Zeust, 1992).
Kedua tokoh tersebut mengintroduksi pandangan tentang “dunia sebagai tanda”. Akan tetapi, dasar ontologis dan epistemologisnya berbeda. Semiotika Saussure bersumber pada bahasa dan dalam pengembangannya oleh tokoh lain, terutama Roland Barthes, banyak memakai istilah-istilah teknis dari ranah bahasa seperti denotasi, konotasi, semantik (kode semantik), narasi (kode narasi), dan lain-lain. Ini karena Saussure sendiri merupakan ahli lingustik struktural. Sedangkan Peirce mendasarkan teorinya pada logika seturut ia sendiri sebagai ahli filsafat logika (matematika). Mengikuti jejak disiplin ini, istilah-istilah dalam semiotika Peirce juga cenderung memiliki pola yang mirip dalam dunia matematika seperti ikon, indeks, simbol, sinsign, qualisign, legisign, dan lain-lain (Saussure, 1990; Short, 2007).
Tentu saja saya tidak akan membahas lebih jauh aspek teoretik “dua semiotika” di atas. Di sini, yang paling penting ditunjukkan adalah bagaimana CSR diposisikan sebagai bangunan tanda (konstruksi semiosis). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, saya akan mulai dengan melihat produk sebagai bahasa dan/atau dibahasakan. Judith William (1977) berpandangan bahwa transaksi atas sebuah produk terjadi bukan ketika produk tersebut berpindah dari penjual ke pembeli, melainkan pada saat diartikulasikan melalui media bahasa yang kita kenal sebagai iklan. Produk benar-benar menjadi Produk (dengan P kapital) ketika ia sudah dimetaforarisasi, antara lain dengan pemberian nama, penarasian, substitusi, penokohan, dan seterusnya. Pendek kata, posisi produk digeser dari maujud benda menjadi “maujud bahasa”.
Dengan proses tersebut, secara semiotika, sebuah produk bergeser menjadi tanda, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Saussure mendefinisikan tanda sebagai hubungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah sebuah wujud yang tampak, sedangkan petanda adalah konsep yang terdapat di baliknya. Wujud sebuah tempat tidur (kasur), misalnya, merujuk kepada konsep mengenai tindakan tidur. Kasur lantas memiliki makna denotatif sebagai tempat untuk tidur. Di sini, makna kasur merujuk kepada fungsi. Dan ini adalah proses semiosis tingkat pertama.
Kini mari kita beri nama kasur tersebut dengan sebuah merk, narasikan dengan sebuah tema kesehatan, misalnya, pilih artis berkelas sebagai narator, dan seterusnya. Proses ini tidak hanya menyebabkan kasur tadi berposisi sebagai penanda yang merujuk kepada konsep peristiwa tidur belaka, tetapi juga merujuk kepada pesan dan makna yang berhubungan dengan gaya hidup tertentu. Tidur di atas kasur dengan merk tadi berarti sehat dan bahagia, misalnya. Ini berarti nilai fungsi produk telah bergeser menjadi nilai fungsi tanda. Frekuensi pengucapan pada tingkat tertentu tentang penanda tersebut akan menyebabkan calon pembeli membeli konsep produk, bukan fungsinya. Walhasil, nilai fungsi produk bergeser menjadi nilai fungsi tanda dan nilai tukar produk, dengan demikian, bergeser menjadi nilai tukar tanda. Orang tidak lagi memberi barang, melainkan membeli tanda, atau yang lebih populer disebut “citra” (image).
Pertanyaannya, pada aspek apa kita bisa menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan dalam konstruksi semiosis produk sedemikian. Alih-alih merepresentasikan tanggungjawab sosial, bukankah mekanisme penandaan tersebut justeru telah mengeksploitasi hasrat calon pembeli untuk menjadi konsumtif dan lebih jauh menciptakan gaya hidup konsumerisme di dalam kehidupan sosial. Untuk menjawab persoalan ini, mari kita perhatikan mekanisme penandaan sebuah produk pasta yang terkenal dari Italia, Panzani, berikut ini.
Sebagaimana tampak, produk Panzani diletakkan dalam sebuah keranjang (berbentuk jala setengah terbuka) bersama buah dan sayuran segar: tomat, cabe, dan bawang . Di samping itu, terdapat kombinasi warna kuning, hijau, dan merah yang dominan sebagai latar belakang. Barthes dalam eseinya yang sangat populer, “Rhetoric of the Image” (dalam Barthes, 1977), memberikan catatan semiosis yang menarik. Ia menganalisisnya dalam beberapa tahap, yakni denotasi, konotasi, dan ideologi (mitos). Pada tahap denotasi ia mengidentifikasi gambar di atas sebagai fakta visual apa adanya (presence). Denotasi sendiri merupakan makna harafiah dari bahasa atau sebagaimana penjelasan dalam kamus. Merujuk kepada Panofsky, makna denotasi dari sebuah representasi visual adalah gambaran image yang dapat dikenali di berbagai budaya dan kurun waktu tertentu. Dengan demikian, fakta visual di atas tidak lain adalah keranjang setengah terbuka yang isinya terdiri atas pasta produk Panjani, bawang, cabe, dan tomat yang tumpah atau ditumpahkan ke atas meja.
Barthes kemudian melanjutkan analisisnya ke tahap konotasi, yakni asosiasi sosiokultural (sering juga dipahami sebagai asosiasi individual) dari sebuah tanda. Pada tahap ini Barthes mencatat beberapa asosiasi yang bertingkat. Menurutnya, poster itu mengirim pesan bahwa kesegaran alami dari sayuran adalah kesegaran Panzani juga. Dan kesegaran ini mencirikan sebuah persiapan memasak di pagi hari. Merek Panzani adalah tanda linguistik yang mengirim pesan tentang Italia. Jadi, aktivitas memasak di pagi hari dengan kesegaran alami adalah ikhwal yang terkait dengan keitaliaan. Barthes kemudian mengembangkan analisis pada tingkat berikutnya dari konotasi, yakni ideologi atau mitos. Pada tahap ini ia menyimpulkan bahwa poster Panzani tersebut mengirim pesan ideologis: Panzani adalah gaya hidup, pengetahuan kesehatan, dan sejarah Italia.
Apakah memang demikian faktanya? Merujuk kembali ke Barthes, poster tersebut merupakan mekanisme retoris Panzani untuk menamai produknya sehingga dengan begitu ia mendapat posisi (diferensiasi) dalam kompetisi pasar. Artinya, tujuan akhir mekanisme tersebut adalah bisnis, yakni bagaimana produk tersebut mendapat tempat di hati calon pembeli. Namun, di sisi lain, kita bisa menemukan semacam pandangan dunia (world view) dari perusahaan Panzani tentang bagaimana mereka harus menamai dirinya. Bagaimanapun, pilihan atas tomat, bawang, cabe, dan seluruh desain poster tersebut bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan merupakan seleksi yang ketat dan didasari pengetahuan yang memadai tentangnya. Dengan cara itu Panzani, di samping mampu mengangkat identitas produknya, sekaligus juga berhasil mengangkat derajat bangsanya. Ketika di pasar global kita menemukan Panzani, dengan ndirinya kita menyaksikan Italia. Di balik Panzani, pada segmen dan titik tertentu Italia berhasil menghegomoni atau mengambil posisi kepemimpinan budaya (cultural leadership) di dunia.
Strategi Panzani sedemikian, hemat saya, merupakan sebuah model tentang bagaimana CSR dapat dimainkan dengan perspektif yang berbeda. Di situ, tanggung jawab perusahaan bahkan telah melampaui ranah sosial (Social), yakni bergerak ke dalam ranah kebudayaan (Cultural). Penting disampaikan bahwa di dalam ranah kebudayaan tanggungjawab perusahaan sejatinya akan lebih terfokus kepada “lapis dalam” fenomena sosial. Dalam konteks ini, tanggung jawab perusahaan tidak mewujud dalam bentuk program-program fisikal apalagi temporal, tetapi bersifat nonfisik dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Benar bahwa dalam konteks kebudayaan dikenal juga penyelenggaraan peristiwa kebudayaan yang fisikal dan temporal seperti pentas seni, festival budaya, dan lain-lain. Sejauh ini hal itu kiranya telah tercantum juga di dalam program CSR. Namun, seperti mekanisme Panzani di atas, kerja kebudayaan yang dimaksud di sini adalah upaya menjadikan wujud perusahaan—dalam konteks tulisan ini melalui produk yang dihasilkan—sebagai bangunan nilai (ideologi, kultural, spiritual, dan lain-lain). Upaya ini sudah pasti tidak mengabaikan sisi bisnis itu sendiri. Alih-alih demikian, ia justeru menjadi bagian penting dalam pengembangan bisnis.
Itulah yang saya maksud sebagai konstruksi semiotika dari tanggungjawab perusahaan. Dalam konstruksi ini, perusahaan adalah sebuah bangunan tanda semiosis yang merefer ke dalam konsep kehidupan terintegrasi yang satu sama lain saling berelasi sekaligus bertegangan. Dengan perspektif tentang kebudayaan sebagaimana disinggung di awal tulisan ini (cultural studies), perusahaan menjelma sebuah “bangunan interdisiplin dan bahkan multidisiplin”, yakni tempat para pebisnis, teknokrat, saintis, seniman, budayawan, rohaniwan, dan lain-lain bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Konstruksi semiotika ini dengan sendirinya akan merepresentasikan tanggungjawab perusahaan itu sendiri di dalam masyarakat bangsa, negara, dan perabadan secara umum.
Sekali lagi penting disampaikan bahwa kerja kebudayaan bukan upaya temporal, melainkan justeru membutuhkan waktu yang panjang. Sekedar mengambil sebuah contoh, mari kita periksa tentang wujud kecantikan perempuan Indonesia yang secara umum dipahami masyarakat selama ini. Cantik adalah putih, tinggi semampai (belakangan harus kurus), rambut lurus (kini), dan hidung mancung.
Semua elemen dari konsep tersebut tidak satupun ditemukan dalam kebudayaan kita. Sebagaimana diketahui, sebagai manusia yang secara antropologis tergolong ras Austronesia, kulit kita tidak putih, postur tidak tinggi, dan hidung pun tidak mancung. Tapi, mengapa kini kita sangat meyakininya bahwa deskripsi cantik di atas adalah tampilan fisik ideal perempuan Indonesia. Inilah hasil kerja kebudayaan yang berlangsung lama. Dalam konteks ini, perusahaan kosmetik di Indonesia—khususnya yang multinasonal—memiliki andil yang sangat besar di dalamnya. Aquarini Prabasmoro (2003) menunjukkan bagaimana sebuah perusahaan sabun mandi (Lux) telah menjadikan cantik itu sebagai putih (becoming white). Lux bahkan selalu “membekerjakan” artis-artis blasteran untuk membahasakannya (iklan). Perhatikan salah satu iklan Lux pada kurun 70-80-an.
Dalam perspektif semiotika, segala hal yang tampil dalam ranah kebudayaan adalah konstruksi tanda, sebuah produksi. Model kecantikan sebagaimana tampak pada gambar dan uraian di atas adalah produksi juga. Tentu, dalam konteks bisnis, kita tidak mempermasalahkan hal tersebut, apalagi jika mengingat Lux diproduksi oleh perusahaan multinasional. Dalam konteks CSR, PT Unilever Indonesia yang memproduksi Lux sendiri pasti juga memiliki program-program yang memiliki kualitas tersendiri. Sebagaimana dijelaskan Sri Urip (2014), sejak tahun 1970-an hingga sekarang (tahun buku terbit), Unilever telah berinvestasi dalam bidang pendidikan masyarakat, kesehatan, pelibatan mitra usaha kecil dalam distribusi, dan lain-lain.
Pertanyaannya, mengapa di dalam CSR-nya PT Unilever Indonesia mengambil segmen eksternal sedemikian, bukan pada proses pembentukan identitas melalui barang-barang yang diproduksinya, dalam hal ini khususnya bidang kecantikan. Tentu itu merupakan keputusan perusahaan. Hanya, hemat saya, sejatinya akan lebih lengkap dan seksi sebenarnya jika Unilever Indonesia juga memiliki “bargaining” dalam pembentukan karakter produknya dengan berbasis pada kebudayaan Indonesia. Cantik adalah kuning langsat dengan rambut seperti mayang terurai, misalnya.
Akan tetapi, memang, jika kita kembali kepada catatan Barthes tentang Panzani di atas, artikulasi sabun Lux sedemikian bisa dipahami. Dari sini bisa dibaca bahwa terdapat sisi ideologis yang menjadi kepentingan satu pihak dan karena itu tidak bisa diberikan kepada pihak lain (kita). Ini memang tidak kasat mata, tapi kerja kebudayaan memang juga sangat halus, dan sekali lagi, durasi waktunya sangat panjang. Dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan visi yang jauh kedepan untuk melakukannya. Dan hal inilah, hemat saya, yang hari ini mesti kita pikirkan. Sudah saatnya kita menyusun konsep tentang Corporate Cultural Responsibility (CCR) sebagai pengembangan CSR ke wilayah nilai yang lebih subtil (kultural, ideologis, filosofis, dan lain-lain) dalam konteks kepentingan meningkatkan derajat bangsa secara terus-menerus di mata dunia dan, tentu saja, di mata kita sendiri. Kelak bisa jadi juga digagas mengenai CCR Indonesia Award.
CCR dan Kebercepatan Substansial
Di bagian ini perlu ditegaskan bahwa uraian di atas memang lebih terfokus kepada perusahaan yang memproduksi barang-barang yang berhubungan langsung dengan publik (konsumen). Perusahaan jenis ini mau tidak mau mesti memiliki kemampuan yang baik dalam mengartikulasikan produknya kepada konsumen, baik langsung maupun melalui lembaga lain. Untuk hal ini, sebagaimana telah diuraikan, semiotika bisa menjadi dasar perspektif sekaligus metode yang tepat, baik dalam konteks penyusunan konsep di balik tanda atau kode (encoding) maupun untuk membongkar pesan dan makna di balik tanda (decoding). Di atas telah ditunjukkan bahwa secara semiosis, proses produksi tidak bisa dilepaskan dari pembentukan makna dan tanggung jawab di tengah-tengah masyarakat sehingga dengan begitu di dalamnya terintegrasi fungsi CSR atau bahkan CCR.
Namun demikian, secara substansial konstruksi semiotika tersebut sebenarnya bisa dirujuk juga oleh perusahaan yang tidak berhubungan langsung dengan publik. Dalam konteks ini, berdasar pada semiotika Peirce, perusahaan seyogyanya menjadi bangunan tanda indeksikal yang merujuk kepada konsep integral dari berbagai nilai: bisnis, sosial, kultur, alam, dan seterusnya. Dengan hal ini, tubuh perusahaan dibentuk sebagai representasi dari tangganggungjawabnya itu sendiri. Dengan kata lain, perusahaan sebagai konstruksi tanda adalah organisasi bisnis sekaligus lembaga nilai tadi.
Bertolak dari konsep tersebut, program CSR yang bersifat insidental dan terkesan terpisah dari “tubuh perusahaan” sudah tidak diselenggarakan lagi atau penyelenggaraannya hanya merupakan bagian di dalam bingkai besar visi dan misi perusahan. Dengan kata lain, seluruh kegiatan CSR telah menubuh (embodyment) menjadi “diri dan jiwa” perusahaan itu sendiri. Jika ini terwujud, dalam rentang waktu tertentu, lagi-lagi merujuk kepada Peirce, perusahaan akan menjadi ikon, indeks, sekaligus simbol yang berterima di masyarakat (legisign). Perusahaan menjadi sebuah lembaga yang bukan hanya menjadi identitas bisnis, melainkan juga identitas kultural. Ia merengkuh dua danau dalam sekali dayung.
Seperti telah diuraikan, untuk mencapai posisi tersebut sebuah perusahaan harus berdiri di atas/dan memiliki perspektif inter-, trans-, bahkan multidispilin. Sebuah perusahaan tambang, misalnya, selain, tentu saja, memiliki tenaga inti yang mumpuni di bidang terkait, di dalamnya dapat membekerjakan seorang sastrawan yang mampu menyusun narasi, seorang sineas yang cakap memvisualisasi, filosof yang mampu memberi pertimbangan nilai, dan seterusnya seturut seluruh aktivitas dan usaha kebertambangannya. Inilah perusahaan yang memiliki visi cultural studies, sebuah visi di mana CSR-nya telah bergerak ke ranah yang lebih substansif, yakni CCR.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana konstruksi semiotika atas CSR yang bergerak ke arah CCR tersebut bisa dihubungkan dengan wacana revolusi industri 4.0 yang belakangan ini digandrungi banyak pihak dan juga telah menjadi tema sentral pertemuan ini. Bukankah konsep di atas malah justeru merupakan kebalikannya?
Kita tahu bahwa salah satu ciri menonjol dari revolusi industri 4.0 adalah kecepatan (akselerasi) dalam seluruh aktivitasnya: produksi, distribusi, sirkulasi, dan lain-lain. Dalam ikhwal kecepatan itu sendiri, sebenarnya dunia sudah bergerak lebih cepat sejak sekian dasawarsa lalu. Di Indonesia saja, penyair Afrizal Malna telah membuat sajak bertajuk “Abad Yang Berlari” pada tahun 80-an dan Yasraf Amir Piliang telah menulis buku “Dunia Yang Dilipat” pada 90-an. Bukankah sudah lama pula kita bisa menonton siaran langsung sepakbola yang diselenggarakan kemarin atau esok hari (menurut waktu kita) di belahan bumi yang lain. Waktu telah dipadatkan di situ. Tapi, memang, belakangan situasinya terus memuncak sejalan dengan kian pesatnya kemajuan teknologi komputer yang kemudian melahirkan kebudayaan digital (digital culture). Dunia kian mengecil. Dan dalam ranah informasi terjadi “ledakan ke dalam” (implosion). Tulislah satu istilah di mesin pencari Google, misalnya, maka dalam sekian detik beratus ribu bahkan berjuta informasi akan muncul dari berbagai ranah pengetahuan yang berhubungan dengan istilah itu. Informasi kini bukan lagi entitas yang harus susah payah dicari, melainkan justeru menyerang kita. Itulah yang dimaksud dengan implosi.
Orientasi dari kecepatan tidak lain adalah tujuan. Orientasi ini segaris dengan karakter dasar manusia, yakni selalu ingin cepat sampai ke tujuan. Kondisi ini menyebabkan manusia juga menjadi takut pada ketertinggalan. Dalam konteks pembangunan negara kita, ketertinggalan menjadi pasangan biner dari kemajuan. Sebagaimana diketahui, orientasi pembangunan kita terletak pada kemajuan. Kita terus-menerus mengejar kemajuan dan sangat trauma pada ketertinggalan. Traumatik kolektif ini bahkan telah menyebabkan kita meyakini kebenaran bahasa yang logika semantiknya salah. Ingatlah, telah lama para pejabat terbiasa mengucapkan kalimat “kita harus mengejar ketertinggalan”. Ini jelas salah kaprah. Bagaimana mungkin bisa maju kalau yang dikejarnya ketertinggalan.
Selanjutnya, dalam perspektif cultural studies paradigma kecepatan berbanding lurus dengan kemajuan pada kecenderungan zaman sebelumnya (revolusi industri 1.0-3.0). Jika kemajuan merupakan istilah modernis, kecepatan memiliki karakter posmodernis. Kecepatan bisa dibilang sebagai hasil metamorfosa dari kemajuan, dua istilah yang karakter dasarnya sama, yakni ideologis dan hegemonik. Dalam kondisi psikologis bangsa yang terhegemoni, istilah kemajuan menyebabkan kita ketakutan pada ketertinggalan, sedangkan kecepatan menggerus kita untuk takut pada kelambatan. Segala hal mesti dilakukan dengan cepat. Jika tidak, Anda akan mengalami banyak masalah. Maka terjadilah, misalnya, pemandangan seperti pada gambar di bawah ini:
Dengan sangat baik foto di atas menjelaskan kepada kita bahwa paradigma kebercepatan menimbulkan kecemasan yang bisa “membabi-buta”, yang dengan begitu menimbulkan resiko tersendiri. Kebercepatan menyebabkan orang menjadi tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Hilangnya kepekaan terhadap lingkungan dengan sendirinya juga berarti tidak bisa menikmati lingkungan. Dalam sebuah perjalanan dari Bandung ke Surabaya, misalnya, seseorang bisa lebih cepat sampai ke tujuan dengan menggunakan pesawat ketimbang dengan kereta api. Tapi, penumpang pesawat nyaris bisa dipastikan tidak bisa menikmati pemandangan seperti penumpang kereta api. Ketika pesawat melintas ke hutan tropis, bisa saja ia melihat hutan sebagai hamparan kehijauan yang indah, tapi ia pasti tidak bisa melihat jenis pepohonannya. Walhasil, kebercepatan cenderung menyasar lapis permukaan (surface structure) ketimbang lapis dalam (deep structure).
Dalam konteks pembangunan bangsa, kemajuan pun harus dicapai dengan cepat (jika bisa supercepat). Visi pembangunan Presiden Jokowi lima tahun pertama kurang lebih mengirim pesan itu. Presiden sendiri berkali-kali menegaskannya. Proyek infrastruktur jalan raya, misalnya, dimaksudkan agar proses pembangunan di daerah-daerah “terpencil” dapat dipercepat. Pada periode kedua kepemimpinan 2019-2024, dalam pidato awalnya, di bidang pendidikan presiden akan lebih menggalakkan pendidikan vokasi dan manajemen talenta. Jelas bahwa pendidikan pun lebih diproyeksikan untuk mendukung pembangunan yang cenderung bersifat fisik, agar kemajuan dapat dipercepat.
Jika kepala negara telah mencanangkan demikian, keputusan-keputusan pembangunan di bawah komandonya pastilah akan berkelindan di seputar itu. Langsung ataupun tidak hal tersebut juga akan berpengaruh kepada pengelolan usaha di lingkungan perusahaan swasta, baik berupa pengaruh politik (kebijakan), psikologis, kultural, dan, tentu saja, ekonomi. Jadi, percepatan tidak hanya didorong oleh kemajuan teknologi dan dominasi kultural di tingkat global, tetapi juga dituntut oleh kebijakan doministik.
Sambil menunggu kabar baik tentang keberhasilan semua upaya percepatan sedemikian, kabar kurang baiknya mungkin akan datang lebih dulu, yakni aspek nilai-nilai kemanusiaan (termasuk di dalamnya “lapis-dalam” kebudayaan) yang akan kian terpuruk. Hal ini karena secara teoretik dan empirik aspek tersebut tidak bisa direvolusi. Pembentukan karakter dan hal-hal lain menyangkut mental tidak bisa dimasukkan ke dalam mesin percepatan. Alih-alih demikian, rumusnya bisa jadi malah berkebalikan.
Namun, hemat saya hal tersebut bukan ancaman, melainkan tantangan. Dengan bersikap optimistik, selalu ada cara dan jalan keluar. Dalam konteks hubungan antara pengembangan perusahaan dan tanggungjawabnya di masyarakat, sekali lagi, CCR yang saya uraikan sebelumnya, dapat menjadi salah satu alternatif jawaban. Ia membuka ruang lebih luas sekaligus percepatan bagi pencapaian bisnis di satu sisi, sementara pada sisi lain juga dapat bergerak ke dalam, ke lapis nilai substansial kebudayaan dan peradaban manusia.
Mekanisme kerja CCR tidak terletak pada interval waktu yang linear-sinkronik, melainkan anakronik. Ia menyandingkan masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, yang bergerak lambat dan berlari cepat, dan seterusnya. Ia juga bergerak dinamis dan progresif. Jika prinsip binis adalah memompa terus pertumbuhan, CCR memberi semacam rambu bahwa pertumbuhan, sebagaimana dijelaskan Harari (2015), adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Jika prinsip bisnis meladeni segala yang berlari cepat, CCR memberi pesan semiosis bahwa kekuatan kita tidak selamanya terletak pada kemampuan untuk mengimbangi mereka yang berlari. Pada saat semua pihak berlari, keunggulan bisa jadi justeru terletak pada seberapa kuat kita bertahan untuk tidak tergoda melakukan hal yang sama. Bagi saya, inilah yang disebut power of live sebagaimana ditulis penyelenggara sebagai sub tema pertemuan ini***
Sumber:
Barker, Chris. (2005). Cultural Studies, Theory and Practice. Reprinted. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications
De Saussure, Ferdinand. (1990). Course In General Linguistics. Edited by Charles Bally and Albert Sechehaye with the collaboration of Albert Riedlinger. Translated and annotated by Roy Harris. London: Duckworth.
Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia. Terjemahan Yanto Musthofa. Jakarta: Alfabet.
Prabasmoro, Aquarini. 2003. Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra
Short, T.L. (2007). Peirce’s Theory of Sign. USA: Cambridge University Press.
Zoest, Aart Van. (1992). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Williamson, Judith. 1977. Decoding Advertisements, Marion Boyars, 1977.
Copyright by CSR-INDONESIA.COM
Disampaikan dalam CSR Summit, Bali, 30-31 Juli 2019.