Home Citra Kasus Video Senyap Presentasi Mas Wapres: Tantangan Transparansi dan Branding dalam Komunikasi...

Kasus Video Senyap Presentasi Mas Wapres: Tantangan Transparansi dan Branding dalam Komunikasi Politik

73
Para kepala daerah jalani retreat di Magelang | Instagram @s_tjo
Para kepala daerah jalani retreat di Magelang | Instagram @s_tjo

Kasus Video Senyap Presentasi Mas Wapres: Tantangan Transparansi dan Branding dalam Komunikasi Politik

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di tengah dinamika politik dan era informasi digital, kasus video bisu presentasi Wapres saat menjadi materi dalam retreat kepala daerah pasca Pilkada Serentak 2025 di Magelang menjadi refleksi menarik mengenai strategi komunikasi yang ambigu.
Wakil Presiden —-yang tidak hanya mencuri perhatian karena posisinya sebagai wakil presiden termuda di dunia —-tiba-tiba menjadi sorotan publik bukan semata karena kehadirannya, melainkan karena sosialisasi dan publikasi cara penyampaian materinya yang misterius atau berbeda dari yang sudah ada selama ini. Dalam sesi yang diduga konon berkaitan dengan Asta Cita dan program turunannya tersebut seperti MBG, swasembada pangan, dan pencegahan stunting, materi pembekalan yang dipublikasikan hampir seluruh media massa hanya tersaji dalam bentuk rekaman visual tanpa audio, atau bahkan diolah layaknya video klip dengan iringan musik.
Potensi Spekulasi dan Penyesatan
Padahal, menurut W. Lance Bennett, seorang akademisi terkemuka dalam komunikasi politik, keterbukaan adalah kunci utama untuk membangun kepercayaan publik. Ketika pesan yang disampaikan oleh pejabat tinggi disamarkan atau disajikan secara tidak lengkap, masyarakat secara otomatis dipaksa untuk mengisi kekosongan informasi dengan spekulasi yang berpotensi menyesatkan. Dalam kasus ini, kebijakan penyajian materi secara visual tanpa suara justru membuka peluang bagi distorsi pesan dan penyebaran narasi yang tidak akurat, yang pada akhirnya dapat melemahkan kredibilitas institusi pemerintahan.
Richard Edelman, CEO dari Edelman PR, pernah mengungapkan bahwa kredibilitas adalah aset paling berharga dalam hubungan antara institusi dan publik. Dalam konteks strategi komunikasi yang ambigu ini, penggunaan rekaman tanpa audio menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi dan kejelasan pesan. Edelman berpendapat bahwa ketidakjelasan semacam ini tidak hanya mengaburkan maksud sebenarnya, tetapi juga membuka celah bagi manipulasi informasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Philip Kotler, setiap titik sentuhan komunikasi—terutama dalam branding politik—harus mampu mencerminkan nilai dan identitas yang ingin dibangun. Pesan yang disampaikan secara samar, meskipun dikemas dengan kreativitas, dapat merusak kekuatan narasi dan melemahkan hubungan emosional antara pemerintah dan masyarakat.
Lebih jauh, Joseph Nye, pakar diplomasi dan penggagas konsep soft power, mengingatkan bahwa komunikasi yang jujur dan terbuka sangat penting dalam membangun citra positif suatu negara di mata dunia. Ketika informasi penting disajikan secara terfragmentasi atau sengaja disamarkan, tidak hanya kepercayaan domestik yang tergerus, tetapi juga persepsi global terhadap integritas diplomasi nasional. Di era di mana informasi tersebar dengan cepat, pendekatan komunikasi yang kurang transparan dapat mengikis soft power suatu negara, sehingga melemahkan posisinya dalam diplomasi internasional.
Strategi Teasing, Pendekatan Unik?
Selain pertimbangan transparansi, ada pula dugaan bahwa penyebaran video bisu ini merupakan bagian dari strategi teasing yang lebih canggih. Strategi ini berpotensi dimaksudkan untuk memancing rasa penasaran dan spekulasi publik—sebuah teknik prank dan shock therapy dalam dunia komunikasi politik. Dengan sengaja merilis video tanpa audio, pihak penyelenggara mungkin berharap masyarakat akan membanjiri media sosial dengan asumsi-asumsi dan tuduhan buruk, yang pada gilirannya dapat mendongkrak popularitas Mas Wapres sebagai figur kontroversial dan menarik. Pada puncaknya, ketika akhirnya beredar video lengkap dengan suara yang menampilkan penyampaian materi yang lancar dan meyakinkan, efek kejut tersebut bisa mengubah narasi negatif menjadi penghargaan atas kualitas komunikasi yang sebenarnya. Pendekatan ini, meskipun penuh risiko, menunjukkan keberanian dalam mengeksplorasi metode komunikasi nonkonvensional yang mampu menciptakan buzz dan mendongkrak eksposur secara dramatis.
Mengurai Dilema antara Strategi dan Transparansi
Kasus video bisu ini memunculkan dilema antara upaya pengendalian narasi dan kebutuhan transparansi. Penyampaian pesan melalui rekaman visual tanpa audio, meskipun mungkin bertujuan untuk menjaga “kerahasiaan” materi, justru mengundang spekulasi dan potensi disinformasi. Pernyataan tegas Gibran, “Tidak ada program selain program presiden,” yang disambut tepuk tangan meriah, mengindikasikan adanya upaya untuk menyatukan visi misi di tingkat daerah. Namun, tanpa kejelasan isi materi yang sebenarnya, strategi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah upaya ini merupakan inovasi dalam penyampaian pesan atau sekadar langkah mundur dalam praktik komunikasi yang terbuka dan jujur?
Pelajaran bagi Praktisi Komunikasi dan Strategi Branding
Dari integrasi pandangan para pakar tersebut, terdapat beberapa pelajaran penting bagi praktisi komunikasi dan branding:
Keterbukaan dan Kejelasan: Keterbukaan dalam menyampaikan pesan politik merupakan fondasi untuk membangun kepercayaan. Pesan yang terfragmentasi hanya akan menimbulkan spekulasi dan celah bagi disinformasi.
Kredibilitas Melalui Konsistensi: Baik dalam konteks public relations maupun branding, konsistensi pesan adalah kunci. Setiap komunikasi harus mampu mencerminkan nilai dan identitas institusi secara utuh.
Pengaruh Global dan Soft Power: Dalam kancah diplomasi internasional, citra positif dibangun melalui komunikasi yang jujur dan terbuka. Strategi yang menyembunyikan atau mengaburkan informasi justru dapat melemahkan posisi tawar negara di mata dunia.
Inovasi dalam Strategi Teasing: Eksperimen dengan pendekatan nonkonvensional, seperti penggunaan video bisu sebagai strategi teasing, menunjukkan bahwa dalam era digital, teknik pemasaran politik dapat melampaui batas-batas tradisional. Namun, inovasi ini harus diimbangi dengan transparansi agar tidak justru menimbulkan kegaduhan dan disinformasi.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, setidaknya dalam dunia komunikasi politik dan strategi branding, kasus penyajian materi oleh Wakil Presiden Gibran di Magelang memberikan pelajaran berharga. Meskipun inovasi dalam penyampaian pesan memang dibutuhkan, prinsip transparansi dan kejelasan tidak boleh dikorbankan.
Integrasi pandangan dari Bennett, Edelman, Nye, dan Kotler, serta potensi strategi teasing yang digunakan, menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif harus mampu menyatukan inovasi dengan kepercayaan publik.
Strategi yang ambigu, meskipun berpotensi menciptakan buzz dan popularitas, juga harus dievaluasi secara kritis agar pesan yang disampaikan tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga membangun kredibilitas dan reputasi yang kuat—baik di dalam negeri maupun di kancah global. Tabik. []