Home Kolom IMPOR PANGAN BIKIN PEDAGANG SUBUR, PEJABAT MAKMUR, TAPI PETANI APES

IMPOR PANGAN BIKIN PEDAGANG SUBUR, PEJABAT MAKMUR, TAPI PETANI APES

21

IMPOR PANGAN BIKIN PEDAGANG SUBUR, PEJABAT MAKMUR, TAPI PETANI APES

 

Oleh : Dr. Ir. Memet Hakim, MM

Wanhat Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB).                                    Pengamat Pertanian

 

Tanaman pangan adalah produk pertanian terutama padi dan gula, merupakan tanaman utama dan penting bagi ketahanan pangan dan ketahanan bangsa, sehingga tidak boleh dianggap komoditi biasa yang diukur murah dan mahal. Semua produk pertanian melibatkan banyak sekali petani dan buruh tani. Petani dan buruh tani itu harus kaya, bukan pejabat atau pedagang saja yang kaya. Mayoritas penduduk Indonesia juga tergantung dari kegiatan pertanian, sehingga kegiatan ini harus mendapatkan perlindungan dan perhatian serius.

Mindset pemerintah (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) dalam mengelola Negara Indonesia ini harus dikoreksi. Saat ini petani melarat, tapi Pejabat dan Pedagang berlimpah. Seharusnya Petani dibuat kaya, Pejabat dan pedagang ikut Makmur, sehingga dengan demikian tidak ada lagi kantong-kantong kemiskinan di daerah pertanian.

Beras impor diluar kewajaran, tak heran jika ada berita Bulog dan Bapanas dipanggil KPK. Gula setiap tahun impor pengusaha dan pejabat bertambah kaya, tapi produksi Nasional semakin kecil, karena petani dimiskinkan. Impor produk hortikultura terlihat diberbagai gerai retail mini market, padahal rakyat tidak makan produk impor juga tidak mengapa. Dari pola ini terlihat bagaimana pemerintah selalu memperkaya petani di luar negeri, tetapi tidak di Dalam Negeri. Harga produk pertanian “harus murah”, petani harus mensubsidi orang kaya di negeri ini.

Sebagai perbandingan “harga Beras” bulan Januari 2024 di AS Rp 72.000/kg, Kanada Rp 59.000/Kg, Jepang Rp 56.000/Kg, Korea Selatan Rp 52.000/kg, Taiwan Rp 47.000 kg dan di Indonesia cuma Rp 13.000/kg (Data boks, 2024). Padahal dengan memberikan harga beras sebesar Rp 15.000-16.000, produksi Nasional akan meningkat dengan sendirinya. Impor beras sebenarnya tidak diperlukan, jika harga GKP dijaga minimal 50% dari harga Eceran di pasar. Perlu revitalisasi dan rekondisi Bulog agar tetap menjadi alat pengontrol iklim usaha tani.

Harga “Gula pasir” di Indonesia, Rp 17.500/kg, Singapura Rp 22.000/kg, di Belanda Rp 30.000/kg di Canada Rp 22,000/kg dan di Australia negara penghasil Gula Rp 31.000/kg. Seandainya harga gula ditingkat petani atau pabrik gula disesuaikan menjadi 18.000 saja dan harga dieceran sekitar Rp 20.000-22.000, maka produksi Gula Nasional akan merangkak naik. Perlu perbaikan iklim usaha petani tebu. “Pembunuh industri gula” itu adalah adanya pabrik Rafinasi yang dimiliki oleh para konglomerat, yang membuat iklim usaha petani tebu tidak sehat dan membuat petani tebu tidak berdaya menghadapi persaingan tidak sehat ini.

Harga Minyak goreng” di Indonesia Rp 17.000/kg, Belanda Rp 35.000 di Malaysia Rp 24.000, itulah sebabnya harga TBS di pabrik Kelapa Sawit selalu dinilai rendah oleh petani sawit. Perkebunan sawit asing sampai saat ini “belum pernah membayar royalty pada pemerintah” atas penggunaan lahan dan air, dana royalty dapat memperkuat keuangan negara.

Perbandingan harga diatas seharusnya membuka pemikiran betapa petani Indonesia ini selalu ditekan untuk menjual produknya secara murah. “Orientasi bahwa pengusaha yang harus kaya, karena dapat menyerap tenaga kerja, seharusnya segera dirobah agar jika petani kaya, akan terjadi kenaikkan produksi Nasional, dan akan terjadi penyerapan tenaga kerja secara masif. Petani kaya, penduduk miskin berkurang.

Saya kira sudah saatnya petani baik pangan maupun non pangan menjadi kaya. Petani bukan manusia super yang selalu diminta kontribusinya memberi makan penduduk Indonesia, tetapi dianggap sebagai kasta rendah. Pekerjaan sebagai petani atau  buruh tani itu sungguh mulia, sama saja dengan ASN, TNI, Polri dan karyawan industri lainnya.. Perbaikan iklim usaha ini akan memanggil para pemuda untuk kembali ke desa bekerja di bidang pertanian, sehingga generasi muda tidak menumpuk di perkotaan.

Bagaimana nasib pengusaha jika petani dan buruh tani menjadi kaya ? Pemerintah semakin kaya juga, karena tidak perlu memikirkan bansos yang demikian besar, tidak perlu memikirkan masalah stunting dll, karena petani kaya akan sanggup membeli makan sehat dan menyekolahkan anak-anaknya.

Pangan merupakan komoditi strategis, “Negara yang menguasai pangan akan menjadi negara kuat”.  Pemerintah harus melihat “komoditi strategis bukan hanya masalah ekonomi semata akan tetapi sebagai masalah politik Negara”. Petani kaya, pedagang sehat, Negara kuat, tetapi jika Pedagang kaya, petani miskin, Negara pusing dan lemah. Diperlukan  “penguatan struktur ekonomi nasional” yang baru dan kuat. Prinsip yang dianut adalah meningkatkan jumlah ekspor dan memperkecil aliran dana ke LN (kurangi impor).

Urusan pangan haruslah menjadi politik Negara, bukan politik partial atau segmential. Semua pihak diwajibkan mendukung program ini, yang mencoba menggerogoti program ini wajib dihukum berat. “Kementerian Perdagangan dan Bulog harus bersih dan kuat serta patriotis”. Pangan selamat dan akhirnya Negara menjadi kuat.

Kebijakan saat ini dengan menentukan harga beras, gula atau pangan lainnya semurah mungkin, adalah “pendapat pedagang yang sangat meyesatkan”.  Kalau harga di LN lebih murah kenapa tidak impor saja ?, tentu merupakan pendapat pedagang yang menginginkan Indonesia lemah.

Menyangkut pangan, harus ada Konsensus Nasional Politik, khusus Komoditi strategis agar dijadikan politik negara. Memperkaya petani yang 60 % dari penduduk Indonesia, adalah salah satu pondasi dalam cara melaksanakan UUD 45 pasal 33 akan membuat Negara menjadi kuat.

Diversifikasi tentu diperlukan, beragam jenis pangan dapat didorong supaya berkembang, pemerintah harus melindungi dan membantunya. Program politis dibidang pangan harus dihindari, petani ini tugasnya seperti TNI menjaga kedaulatan dan kekuatan negara, tidak lebih rendah dari ASN, Polri dan karyawan industri lainnya. Perlu perubahan mindset para pemegang kebijakan tentang pangan, bahwa produk pertanian seperti beras, gula, minyak goreng “harus murah”. Apakah petani yang harus memberi makan seluruh rakyat Indonesia, harus juga melarat ? Apakah hanya pedagang yang boleh kaya ? Soal pangan bukan sekedar dagang, tapi kedaulatan bangsa dan negara .

Semoga ada manfaatnya. Merdeka !!!!

Bandung 8 Juli 2024