Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Inspektorat Pemprov DKI Jakarta segera melakukan audit terkait pengunaan dana CSR di sejumlah perusahaan yang dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur di Ibu Kota.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan, saat ini belum ada aturan yang jelas soal penggunaan dana CSR di Pemprov DKI Jakarta.
“Seharusnya ada aturan yang jelas. Sebab, akhirnya proyek-proyek pembangunan dengan dana CSR ini diserahkan ke Pemprov DKI,” kata Febri, Jakarta, Selasa (26/12/2016).
Menurutnya, tanpa adanya aturan yang jelas, penggunaan CSR membuat celah korupsi sangat besar. Terlebih, selama ini audit tentang penerimaan dan pengeluaran tak terlihat.
“Inspektorat Pemprov DKI Jakarta harus turun tangan untuk melakukan pengawasan yang benar dan harus dilakukan audit soal dana CSR,” tutur Febri.
Dihubungi terpisah, pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, audit harus dilakukan untuk membuktikan dana CSR tersebut jelas peruntukannya. Sehingga bila terbukti tidak adanya korupsi akan dapat terlihat.
Mengenai aturan, Yayat menjelaskan, sekalipun Pemprov DKI belum menerbitkan Perda tentang dana CSR. Namun di Indonesia sudah ada Undang-Undang penggunaan dana CSR bisa dilakukan.
“Nah ini tugas Inspektorat, mencari informasi kebenaran pemasukan dan pengeluaran dana itu,” ujarnya.
Untuk diketahui, salah satu perusahaan ternama di Jakarta telah menggelontorkan dana CSR Rp 24,2 Miliar normalisasi anak Kali Ciliwung, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat.
Lahan sepanjang 200 meter itu dibiarkan terbengkalai.
Hanya sheet pile renggang yang asal jadi terlihat di kawasan itu, sementara pembangunan jalan beton baru sepanjang 20 meter.Sisanya jalanan sepanjang itu merupakan sisa reruntuhan bangunan., katanya.
Kita ketahui bahwa Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menerima bantuan corporate social responsibility (CSR) dari berbagai perushaan dikritik DPRD DKI Jakarta. Sejauh ini legislator DKI itu menilai, bantuan CSR dilakukan terselubung dan tidak tepat sasaran.
“Kenapa CSR itu mengarah pada sektor atau program yang bisa dibiayai APBD, kenapa tidak diperuntukan kepada sektor yang sulit dibiayai APBD yang juga bisa berpihak kepada masyarakat kecil,” ujar Sani sapaan karibnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Seperti halnya, sambung dia, bantuan CSR disalurkan langsung kepada warga korban penggusuran. Dengan membiayai sewa rusun selama tiga tahun pertama kepada warga menggunakan bantuan CSR, kata Sani, jauh lebih bermanfaat ketimbang membangun taman dan sebagainya.
“Jadi Pemprov disarankan punya arah yang jelas, sehingga CSR yang ingin menyalurkan ke pemerintah bisa lebih tepat,” terang politisi PKS itu.
Sebelumnya, kritikan serupa juga disampaikan Anggota Komisi Pembanguna DPRD DKI Jakarta Prabowo Soenirman. Dia mengatakan, bantuan yang diterima Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok lebih layak disebut sebagai sumbangan bukan bantuan CSR.
Sebab, kata dia, ada beberapa ketentuan yang melegalkan perusahaan memberikan CSR kepada masyarakat serta pemerintah. Aturan itu pun kata dia tertuang dalam Undang-Undang perusahaan.
“Nah kalau di DKI ini tidak bisa dikatakan CSR, tapi sebagai sumbangan,” terang Prabowo.
Terlebih, sambung dia, sewajarnya CSR dilakukan sesuai dengan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. “Seumpama perusahaan itu berlokasi di Lampung ya CSR yang diberikan di Lampung saja. Nah kalau di Pemda DKI ini yang dikelola tidak ada. Jadi saya katakan itu sumbangan bukan CSR,” terang politisi Partai Gerindra itu. 18 perusahaan yang menjadi mitra Ahok Center adalah PT Asuransi Jasindo, PD Pembangunan Sarana Jaya, PT Jakarta Propertindo, PD Pasar Jaya, Bank DKI, PT Jakarta Tourisindo, PT Jawa Barat Indah, PT Barito Pasific, PT Landmark, PT Jeunesse Global Indonesia, PT Duta Pertiwi, PT Zaman Bangun Pertiwi, Bapak Wahyu, PT Changbong, PT DUFO, PT HAIER, dan Grup Golf. |TS/RNM/RZ