CSRINDONESIA – Di sebuah lorong sempit di jantung Kota Makassar, Rahma—seorang perempuan muda tunanetra—berjalan perlahan sambil menggandeng keponakannya. Ia hafal betul setiap undakan dan retakan trotoar yang harus ia hindari. Namun hari itu, Rahma tidak sedang berjalan sendirian. Ia didampingi oleh seorang youth mapper muda, bagian dari gerakan yang sedang mengubah cara kota ini dirancang: Gerakan Kota Inklusif Makassar.
Diluncurkan secara resmi pada 8 Mei 2025, inisiatif ini bukan sekadar proyek perencanaan kota biasa. Ini adalah sebuah pernyataan: bahwa Makassar tengah bersiap menjadi kota yang tidak hanya membangun trotoar baru, tetapi juga membongkar tembok diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Digagas oleh Yayasan Kota Kita dan UNESCO, bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Makassar, gerakan ini meletakkan pondasi perencanaan kota di atas data yang dikumpulkan langsung dari akar rumput—melalui penyandang disabilitas itu sendiri.
“Kota yang inklusif dimulai dari data yang inklusif,” ujar Nina Asterina, Manajer Program Urban Inclusivity dari Kota Kita.
Kalimat itu bukan sekadar jargon. Mulai April hingga November 2025, sebanyak 20 pemuda Makassar akan turun langsung ke lapangan, menjangkau sedikitnya 1.000 penyandang disabilitas di berbagai kelurahan. Mereka tidak hanya mengumpulkan data, tapi juga cerita—tentang jalanan yang tak ramah, halte bus yang mustahil dijangkau, hingga layanan publik yang tak pernah menyapa kaum disabilitas.
Proyek ini melibatkan PerDIK (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan), organisasi lokal yang sejak lama memperjuangkan ruang yang setara bagi kaum difabel. Salah satu output penting dari gerakan ini adalah Profil Kota Inklusif Disabilitas Makassar—sebuah dokumen strategis yang tak hanya berbicara angka, tetapi juga pengalaman dan harapan komunitas difabel di tingkat akar rumput.
Bukan Pertama, Tapi Tak Pernah Sama
Makassar bukan kota pertama yang disentuh program inklusi ini. Sejak 2017, kemitraan Kota Kita dan UNESCO telah menghasilkan transformasi nyata di Surakarta dan Banjarmasin. Di sana, ruang-ruang kota mulai dirancang ulang melalui pendekatan co-design, melibatkan warga—termasuk difabel—dalam setiap tahap perencanaan. Upaya ini membuahkan penghargaan internasional seperti Transformative Urban Mobility Award 2018 dan 18th IOPD Award 2024 dengan Special Mention untuk partisipasi anak muda.
Kini, giliran Makassar. Kota yang dikenal dengan semangat sipakatau—saling memanusiakan—berkomitmen mewujudkan inklusi bukan hanya sebagai nilai, tetapi sebagai kebijakan nyata.
“Kota inklusif bukan hanya tentang akses fisik, tetapi tentang martabat, representasi, dan suara,” tegas Maki Katsuno-Hayashikawa, Direktur UNESCO Regional Office di Jakarta.
Dalam kolaborasi yang langka ini, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan warga kota duduk dalam satu meja. Tidak sekadar mendengar, tapi mencatat, belajar, dan bertindak bersama. Lima rangkaian kegiatan telah disiapkan, termasuk lokakarya peningkatan kapasitas bagi organisasi penyandang disabilitas (DPO) serta forum multi-pihak yang akan menyatukan data, harapan, dan langkah konkret ke depan.
Menyusun Masa Depan dari Perspektif Pinggiran
Gerakan ini adalah sebuah pelurusan arah. Bahwa selama ini, kota dibangun bukan dari kacamata Rahma, atau mereka yang hidup dengan kursi roda, atau yang kesulitan membaca rambu. Bahwa inklusi bukan urusan segelintir aktivis, tetapi bagian tak terpisahkan dari kebijakan publik.
Bappeda Makassar, sebagai garda terdepan perencanaan kota, mengambil peran sentral. Kolaborasi ini menunjukkan keberanian: untuk bertanya, untuk mendengar, dan untuk berubah.
Gerakan Kota Inklusif Makassar mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati adalah ketika kota dirasakan hadir oleh seluruh warganya—bukan hanya mereka yang mampu menaklukkan tangga, lampu merah, dan suara bising. Inisiatif ini mengajak semua pihak untuk berhenti sejenak, menengok sekitar, dan bertanya: “Siapa yang tertinggal dari pembangunan kota kita selama ini?”
Jawabannya tidak sederhana. Tapi langkah pertama telah dimulai. Dari lorong sempit tempat Rahma berjalan, hingga meja perencanaan kota, suara penyandang disabilitas kini tak lagi dipinggirkan.
Makassar sedang bergerak. Dan gerakannya, kali ini, benar-benar inklusif. |WAW-CSRI