Dunia yang Berputar ke Depan*
Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Di sebuah sudut kafe tua yang penuh debu dan aroma nostalgia, tiga sahabat lama duduk merenung. Mereka adalah para veteran yang pernah merajai dunia: Nio, Yahu, dan Koda. Di masa lalu, ketiganya tidak hanya menguasai dunia, tapi juga memaknai hidup seperti penguasa. Namun kini, mereka duduk dengan langkah gontai, mengingat kenangan-kenangan pahit yang selalu berputar di kepala.
“Kau tahu,” kata Nio sambil menyeruput kopinya yang sudah dingin. “Dulu, ada bocah yang datang menawarkan sistem operasi baru, katanya… Android, begitu. Aku hanya tertawa kecil, mana mungkin aku akan butuh itu? Aku adalah Nio! Ponsel sejati, ponsel tangguh, takkan tergeser! Ah, betapa angkuhnya aku waktu itu…”
Yahu tersenyum getir, matanya menatap jauh ke masa lalu. “Itu masih mending, Nio. Aku ini? Ada perusahaan muda yang datang, mengaku akan membantu. Tapi, aku hanya melihat mereka anak-anak yang sok tahu, dengan gagasan-gagasan liar tentang mesin pencari yang lebih cepat. ‘Untuk apa aku butuh kalian, Google?’ ujarku waktu itu. Ah… seharusnya aku dengarkan mereka.”
Sementara itu, Koda hanya mendesah panjang. “Dengar-dengar? Sama saja! Aku malah menolak masa depan secara terang-terangan. Dulu aku berpikir, orang-orang akan tetap suka foto dicetak di kertas, berlembar-lembar. Lalu, seseorang datang dengan ide kamera digital. ‘Sampah!’ kataku waktu itu. Teknologi baru hanya membuat manusia jadi malas mencetak! Dan ternyata… akulah yang salah. Teknologi terus maju, dan aku malah terbelenggu di masa lalu.”
Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam rasa bersalah, seakan bisa merasakan detik-detik saat mereka mengambil keputusan-keputusan yang membelenggu mereka. Mereka bukan hanya menolak perubahan, tapi mereka juga menolak kesempatan untuk menjadi lebih dari apa yang mereka pikirkan. Koda meremas-remas tangannya, menggelengkan kepala.
“Kita semua seperti terjebak di menara gading, ya? Terlalu bangga untuk menerima perubahan, terlalu takut melangkah keluar dari zona nyaman kita,” kata Koda dengan suara serak. “Kita malah memilih untuk duduk diam, menolak ajakan zaman.”
Seorang barista yang tengah membersihkan meja, seorang pemuda kurus dengan headset menggantung di lehernya, mendengar percakapan mereka. Ia tersenyum tipis dan berujar, “Kalian tahu, dunia ini selalu bergerak ke depan. Waktu tak pernah menunggu kita untuk siap. Kalian berhenti karena menganggap perubahan itu ancaman. Tapi lihatlah sekarang, apa yang terjadi ketika kalian menolak beradaptasi?”
Nio, yang dari tadi bungkam, tertawa getir. “Kau benar. Kami bangga pada diri sendiri, tapi malah lupa bahwa dunia tak bisa kami atur. Dunia ini berputar tanpa henti, terus berinovasi, terus maju. Dan kami terhenti, terkubur di masa lalu.”
Pemuda itu mengangguk, lalu berkata bijak, “Ingat, Pak, terkadang keberhasilan bukan hanya soal kecerdasan, tapi juga keberanian. Ambil kesempatan, rangkullah perubahan. Jika kita menolak untuk berkembang, kita akan menjadi usang, Pak.”
Yahu menatapnya dalam-dalam, seakan baru tersadar, dan tersenyum. “Benar. Mungkin inilah pelajaran terbesar yang harus kami pelajari di akhir perjalanan kami. Hidup adalah tentang berubah, tentang berani mencoba sesuatu yang baru, tentang terus berlari meski jalannya berkelok.”
Ketiganya mengangguk paham, dan seketika merasa ada beban yang terangkat dari hati mereka. Di akhir percakapan itu, mereka menemukan sebuah inspirasi yang tak ternilai. Mereka mungkin telah jatuh, tetapi kini mereka memahami bahwa ada satu pesan penting yang bisa mereka bagi pada generasi selanjutnya:
Ambillah kesempatan, jangan pernah takut berubah, dan selalu rangkul masa depan, agar kita tak terjebak dalam bayangan masa lalu.
Ketiganya pun pergi meninggalkan kafe itu, membawa pulang pelajaran paling berharga.
——————————————————-
*)Terinspirasi kisah tragis Nokia yang menolak Android, yahoo yang menolak google, dan Kodak yang menolak kamera digital