CSRINDONESIA – Pada pagi yang biasa-biasa saja di Jakarta (15/4), sebuah berita menghangatkan sektor teknologi Indonesia yang tengah menggigil oleh apa yang disebut sebagai tech winter. Di saat banyak startup memilih bertahan dengan cara mengecilkan ambisi, Populix justru menyalakan obor di tengah gelap. Betapa tidak, pendanaan Seri B senilai Rp72 miliar berhasil mereka raih.
Apa yang membuat kisah ini layak diberitakan bukanlah sekadar angka, melainkan konteks di mana angka itu muncul. Ketika laporan Data Vantage menyebut pendanaan startup Indonesia turun 34% sepanjang 2024, dan nilai investasinya terjun bebas 66% — terdalam di Asia Tenggara — Populix tidak ikut tenggelam. Ia justru berenang melawan arus.
Dipimpin oleh MSW V Asia Fund X dan didukung kembali oleh para pemodal yang telah mengenal mereka sejak awal — Intudo Ventures, Altos Ventures, dan Acrew Capital — pendanaan ini bukan hanya sekedar suntikan dana, melainkan validasi atas arah langkah yang mereka tempuh.
“Di tengah iklim seperti ini, kepercayaan investor adalah energi langka,” ujar Dr. Timothy Astandu, Co-Founder dan CEO Populix. Ia menyebut pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperkuat layanan, memperluas inovasi berbasis AI, dan menjajaki ekspansi ke Asia Tenggara — wilayah yang kini haus akan data berkualitas dan kecepatan dalam memahami masyarakatnya.
Tahun lalu, Populix mencatat pertumbuhan proyek dua kali lipat, 65% berasal dari klien yang kembali. Mereka meluncurkan NeXa, asisten riset berbasis AI yang mampu mengawal pengguna dari desain survei hingga analisis. Di ranah publik, mereka juga hadir lewat layanan Policy & Society Research, membantu pemerintah dan organisasi memahami denyut publik.
Pendanaan ini bukan sekadar untuk bertahan hidup, melainkan untuk menciptakan masa depan. Dengan synthetic respondents — persona digital berbasis machine learning yang dapat meniru respons manusia — Populix membangun cara baru dalam mengakses opini publik, lebih cepat dan lebih luas.
