Home Uncategorized Dari Era Coen hingga Ahok, Banjir Itu Selalu Datang Kembali…

Dari Era Coen hingga Ahok, Banjir Itu Selalu Datang Kembali…

1856
atmonadi.com

Jakarta, CSR Indonesia – Meski tak diundang, hampir setiap tahun banjir datang bertandang ke Ibukota DKI Jakarta. Hujan yang mengguyur di wilayah Jabodetabek selama dua hari kemarin, menyebabkan debit air Sungai Ciliwung dan beberapa kali kecil lainnya meluber.

Aliran air seakan tak terhentikan, karena memang sudah sifatnya, air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Karena itu, bukan hanya karena pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak becus menangi masalah banjir. Tapi memang kondisi geografis beberapa titik wilayah Ibukota ini berada di bawah permukaan laut. Di samping perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan, seperti membuang sampah di saluran-saluran air, yang kemudian menyumbat aliran air di saat hujan, dan mengakibatkan banjir.

Penggundulan daerah resapan di wilayah hulu, yaitu wilayah Puncak, Bogor, dan sekitarnya, juga menjadi salah satu faktor penyebab banjir.

Dan, Inilah banjir…. Meredam sejumlah pemukiman dengan ketinggian beragam, mulai 20 centimeter hingga 2 meter lebih. Ribuan orang mengungsi. Kerugian materi pun tak terkirakan…

Banjir sudah melanda Jakarta sejak zaman Belanda dulu. Pemerintahan kolonial sudah merasakan rumitnya menangani banjir di Batavia. Banjir besar lima tahunan pertama yang melanda Jakarta saat masih bernama Batavia tercatat pada tahun 1621, dan berulang pada tahun 1654, 1671, 1699, 1711, 1714, 1854, 1872, 1893, 1918, 1930, 1942, 1976, 1996, 2002, 2007, hingga kini. Jakarta sendiri setidaknya dialiri oleh 13 anak sungai yang secara periodik melewati kota Jakarta menuju ke Teluk Jakarta.

Sebelum Jakarta jadi ibukota NKRI, kisah banjir di kawasan ini sudah sangat terkenal. Bahkan ada indikasi sejak zaman kerajaan Sunda , wilayah yang sekarang jadi Jakarta adalah wilayah banjir.

Ketika Sunda Kelapa muncul menjadi pelabuhan yang ramai , banjir pun nampaknya menjadi ciri utama. Makanya, ketika Belanda menjadikan Sunda Kelapa menjadi basis perdagangannya, kanal-kanal dibangun untuk mengendalikan banjir. Sisa peninggalannya sekarang bisa di lihat di kawasan Kota Tua Jakarta sampai Mall Mangga Dua.

Bahkan di Mangga Dua saluran pengatur banjir pun menjadi landasan gedungnya. Walhasil, kalau daerah Mangga Dua banjir, air yang bau dan kotorpun muncul dari bawah, yaitu dari bekas kanal lama.

Dulu Batavia dan kanalnya dipuja puji di Eropa dengan berbagai julukan: Kota Surga Abadi; Kota Paling Nikmat di Hindia; Sang Ratu Timur.

1728 – 1778 dibangun sistem drainase dengan pintu air (kini sudah hilang) dan bendungan (Katulampa dan Empang) untuk mengendalikan air ke Batavia melalui kanal Kali Baru Timur dan Barat. Namun ketika populasi meningkat, kanal menjadi sumber polusi dan malaria, Batavia pun mulai tak nyaman, dan mendapat julukan baru: Kuburan Belanda.

Era Coen

Jan Pieterszoon Coen pada awal abad 17 silam mendirikan Batavia dengan konsep kota air (waterfront city). Coen merancang Kota Pelabuhan Sunda Kelapa dengan kanal-kanal air seperti Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda.

Pada 1918, misalnya, banjir juga pernah melumpuhkan Batavia. Sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Dua lokomotif cadangan dikerahkan untuk membantu trem-trem yang mogok dalam perjalanan. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.

Ironisnya, banjir tetap mengepung setelah Belanda hengkang dari Jakarta. Artinya, sejak era Coen, hingga periode kepemimpinan gubernur-gubernur Jakarta, termasuk era Ahok saat ini, banjir belum juga bisa diatasi.

Restu Gunawan, dalam bukunya berjudul: Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa, menulis pengalaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika membenahi sistem pengendali banjir di Batavia. Selain membangun beberapa infrastruktur baru, mereka juga membangun Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai lengkap dengan Saluran Banjir Kanal.

Sayang, meski sistem pengendali banjir sudah dibenahi, siklus banjir Jakarta, yang dikenal dengan siklus ‘lima tahunan’ tetap terjadi. Bahkan setelah Herman van Breen, seorang arsitek Belanda selesai membangun Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mengakali banjir.

Menurut Herman, bila hanya mengandalkan BKB dan Pintu Air Manggarai, maka sebetulnya yang terjadi hanya pengalihan wilayah banjir ke wilayah lebih rendah. Bila sebelumnya limpahan air menggenangi Weltevreden (permukiman orang Eropa) dan kawasan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air justru mengalir ke tempat lebih rendah, misalnya Manggarai dan Jatinegara.

Prediksi Herman itu ternyata benar. Banjir hebat di Manggarai dan Jatinegara pertama kali ditulis majalah Bintang Hindia (De Maleisce Revue) pada 1923, edisi 17 Februari, Tahun II, Nomor 7.

Sebetulnya Herman van Breen tidak hanya menggagas sistem kanal, tetapi juga menyodorkan perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa keluar melalui parit-parit sampai kering. Namun cara ini sepertinya juga gagal.

Hingga kini, sudah banyak cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir Jakarta ini, baik era Gubernur Batavia Jan Pieterszoon Coen, maupun era gubernur-gubernur Jakarta setelahnya, misalnya pembangunan kanal, pengerukan sungai, normalisasi waduk, dan perbaikan drainase. Namun upaya itu belum berhasil.

Kepala BPBD DKI Jakarta Syamsul Arfan Akilie, seperti yang pernah dikutip merdeka.com, mengatakan, banjir tahunan di Jakarta berawal dari konflik gubernur Batavia dan VOC Bogor pada 1700-an. Waktu itu VOC ingin mengganti pohon pinus menjadi pohon teh. “Pada akhirnya usulan VOC itu disetujui oleh ratu Juliana dan sekitar 1800-an mulailah banjir.”

Apapun itu, karena banjir masalah kronis, lumrah saja slogan Batavia kala itu adalah “Dispereert niet” yang berarti (jangan putus asa), termasuk menghadapi banjir yang akan terus menyertai warga kota ini. (MAW)