Home CSR Ekonomi Creating Village Biopreneurs: Menggali Aksi Nyata Wirausahawan Hayati Pedesaan

Creating Village Biopreneurs: Menggali Aksi Nyata Wirausahawan Hayati Pedesaan

1868
Istimewa

CSRINDONESIA – Tak bisa dipungkiri lagi, Indonesia adalah negara agraris. Karena itu penulis dan pengamat pemasaran Yuswohady menyatakan Indonesia akan menjadi negara besar bukan karena industri otomotif, kimia, informatika, atau dirgantara, tapi industri berbasis hayati seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hingga energi terbarukan.

Alasan Yuswohady karena Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa. “Bicara ternak, kita punya sapi Pasundan, sapi Bali, kambing Gembrong, atau domba Garut. Bicara buah kita punya manggis, durian, hingga salak pondoh. Bicara kopi, kita punya kopi Gayo, Toraja, Mandailing, Kintamani, atau kopi Wamena. Kita punya ikan melimpah di lautan Nusantara. Begitu kaya negeri ini.”

Menurutnya, kalau kekayaan hayati itu bisa disulap menjadi produk bernilai tinggi melalui pemurnian (purification) dan pemuliaan (breeding) oleh para biopreneurs (para wirausahawan yang bergerak di sektor-sektor hayati), maka Indonesia akan menjadi raksasa bioproduk yang kokoh di pasar global. Di tangan biopreneur-lah Indonesia akan menjadi negara besar melalui kekuatan bioproduk, bioindustri, dan bioekonominya.

“Akan menjadi sangat indah, jika para biopreneur itu adanya di desa bukan di kota. Para biopreneur desa (yang umumnya adalah anggota kelompok-kelompok tani) bisa mengembangkan bioproduk yang menjadi potensi masing-masing desanya. Kalau ini bisa dilaksanakan secara massif di seluruh penjuru tanah air maka akan begitu banyak desa yang menghasilkan produk-produk unggulan yang memiliki daya saing kokoh di pasar,” tutur Yuswo yang pernah menjadi Chief Executive, MarkPlus Institute of Marketing (MIM) tersebut.

Ia yakin jika masyarakat bawah seperti petani, nelayan, atau peternak bisa mengembangkan produk unggulan desa, maka ini akan menjadi jembatan terwujudnya pemerataan pembangunan. Artinya, manfaat dari pengembangan bioproduk, bioindustri dan bioekonomi di Indonesia tak hanya dirasakan oleh pelaku ekonomi besar tapi juga menengah dan kecil. Inilah hakikat pembangunan yang berkeadilan.

Ke depan, kekuatan ekonomi Indonesia nantinya justru ditopang oleh kekuatan para biopreneurs di tingkat desa yang jumlahnya sangat besar. Ketika hal ini terwujud kita yakin Indonesia betul-betul akan menjadi negara besar yang mandiri dan disegani di dunia.

Berbekal pendapat itulah maka Yuswohady mengajak berbagai kalangan yang memiliki kepeduliaan pada pembentukan village biopreneur termasuk penggiat komunitas, teman CSR korporasi, aktivis pedesaan, akademisi, pekerja seni dan industri kreatif, wirausahawan, wartawan, dan lain-lain untuk berkumpul dalam acara “brainstorming & connecting the dots” guna menghasilkan sebuah ide gerakan atau aksi kongkrit untuk mengembangkan village biopreneur di Indonesia.

Untuk acara tersebut, ia juga mengundang beberapa tokoh untuk mentriger peserta diskusi seperti Sapto Rachmadi, Kadiv. CSR, BCA (Topik: “Pindul” project), Nurlela Arief, Kadiv. PR, Bio Farma (“Mizumi Koi dan Ciletuh” project), Yusron Hariyadi, GM DBS, Telkom (“Kampung Nelayan Digital” project), Tantyo Bangun, kecipir.com (“Agro e-marketplace”), Prof. Bambang Purwantara, Biotrop IPB (“Biotechnology for Biopreneurs”), Goris Mustaqim, Yayasan Asgar Muda (“Putra Daerah Membangun” movement), Handoko Hendroyono, produser film (“Filosofi Kopi” project), Thoriq Torki, Dompet Duafa (“Farmers Empowerment”) dan Hastjarjo Boedi Wibowo, Desain Grafis Indonesia (“Design for Village Tourism”).

Menanggapi banyaknya narasumber yang begitu banyak pada acara yang digelar hari ini (15/12) di Lantai 22 Kantor Pusat BCA Jakarta tersebut, sebagai pemungkas Yuswo secara berseloroh menyatakan, ”Namanya juga horizontal sessions, jadi everybody talks, semua kebagian ngomong, habis semuanya hebat-hebat euy.” (WAW)