
Ada sesuatu yang hangat, bahkan panas, di antara Pertamina dan PLN. Bukan sekadar rapat koordinasi atau lembaran nota kesepahaman. Tapi sebuah komitmen untuk menikah dalam satu proyek kecil di Ulubelu, Lampung. Nilainya tidak main-main. Ini soal energi bersih, investasi miliaran dolar, dan langkah konkret menuju Indonesia yang lebih sejuk.
CSR-INDONESIA.COM – Tomohon, 24 Desember 2025. Suara deru mesin dan hembusan uap panas bumi di Ulubelu mungkin terdengar sama seperti kemarin. Tapi hari itu, dari balik layar presentasi dan dokumen perjanjian, lahir sebuah keputusan yang berdenyut penuh harapan.
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan PT PLN Indonesia Power (PLN IP) baru saja menandatangani kesepakatan tarif listrik untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu Bottoming Unit. Kapasitasnya 30 megawatt. Jumlah yang terbilang sederhana di tengah ambisi besar transisi energi. Namun, di balik angka 30 MW itu tersembunyi sebuah cerita tentang efisiensi, kolaborasi, dan mimpi besar yang baru saja menemukan jalurnya.
Proyek ini istimewa. Ia menggunakan teknologi binary pertama hasil kolaborasi PGE dan PLN IP, ditempatkan di wilayah kerja eksisting PGE Ulubelu. Konsepnya co-generation. Memanfaatkan sisa panas dari pembangkit utama yang sudah ada, lalu mengubahnya menjadi listrik tambahan. Seperti memeras hingga tetes terakhir energi dari setiap hembusan uap bumi. Teknologi ini adalah jantung dari proyek bottoming, sebuah cara cerdas untuk meningkatkan produktivitas tanpa membuka lahan baru.
Edwil Suzandi, Direktur Eksplorasi & Pengembangan PGE, mengatakan ini baru langkah awal. Setelah kesepakatan tarif, mereka akan segera membentuk joint venture, melaksanakan pengadaan EPCC, dan menandatangani Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PPA). Semua proses itu dikebut secara simultan di Januari 2026, untuk mengejar target Commercial Operation Date (COD) di 2027.













