Jakarta, CSR INDONESIA – Lomba Artikel dan Foto dari Bank Indonesia bertema “Rupiah, Simbol Kedaulatan NKRI”, masih terbuka hingga 30 November 2015 sekarang. Mereka yang berminat untuk meraih kesempatan mendapatkan Anugerah Jurnalistik Bank Indonesia (AJBI) dalam kesempatan ini masih ditunggu karya-karyanya dalam berbagai Sub tema AJBI antara lain:
1. Implementasi kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi tunai maupun non-tunai di NKRI
2. Implementasi kewajiban pencantuman harga barang/jasa dalam Rupiah di NKRI
3. Rupiah dalam transaksi di sektor pariwisata di NKRI
Artikel yang mendapatkan penilaian tertinggi adalah tulisan komprehensif yang dapat mendukung pemahaman publik tentang kewajiban penggunaan Rupiah di Indonesia. Sedangkan karakter foto yang memiliki nilai tinggi adalah foto yang menggambarkan implementasi kewajiban penggunaan Rupiah baik dalam transaksi maupun pencantuman harga barang/jasa di berbagai sektor.
Latar belakang dari pengadaan lomba ini adalah bahwa Rupiah stabil dan berdaulat adalah harapan kita semua. Meski demikian, kenyataan tak selalu berjalan seiring dengan harapan.
Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar Rupiah ditentukan oleh besarnya penawaran dan permintaan. Ini artinya, apabila permintaan terhadap dolar AS lebih tinggi, secara alamiah dolar AS lebih tinggi, secara alamiah dolar AS akan menguat. Kalau kita ingin menjadikan Rupiah lebih stabil dan menguat, jawaban sebenarnya sederhana, yaitu kurangi permintaan dolar AS, tingkatkan permintaan atau penggunaan Rupiah.
Namun masalahnya tentu tak sesederhana itu. Sejak 2011, kondisi di pasar valuta asing (valas) Indonesia diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas, terutama Dolar AS, daripada pasokannya. Selain itu, kondisi ekonomi global saat ini juga mempengaruhi. Rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed, telah mengakibatkan Dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia, termasuk Rupiah.
Di sisi lain, tahun 2005, utang luar negeri korporasi atau swasta berjumlah sekitar 80 miliar dolar AS. Di tahun 2015, jumlahnya meningkat hingga mencapai sekitar 160 miliar dolar AS. Selain itu, rasio pembayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor, atau yang dikenal dengan istilah Debt Service Ratio (DSR), juga meningkat, dari sekitar 15 persen di tahun 2007, menjadi sekitar 54 persen di tahun 2015.
Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia telah menempuh beberapa kebijakan antara lain, upaya pendalaman pasar keuangan, agar pelaku pasar memiliki lebih banyak pilihan instrumen dan kemudahan dalam bertransaksi. BI juga melakukan monitoring yang ketat terhadap utang luar negeri, khususnya di sektor korporasi. BI telah menerbitkan Peraturan Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri yang mencakup tiga hal, yakni rasio lindung nilai, rasio likuiditas dan peringkat utang.
Selain kedua faktor tersebut, secara geoekonomi, kita juga melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing, khususnya Dolar AS, dalam berbagai transaksi di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antar penduduk Indonesia jumlahnya cukup tinggi. Bayangkan, angkanya mencapai 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 78 Triliun setiap bulan atau sekitar Rp 936 Triliun per tahun. Tingginya transaksi dalam dolar tersebut telah merambah ke segala sektor ekonomi, mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur, perdagangan hingga pariwisata.
Fenomena tersebut tak bisa dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi, namun dapat dilihat sebagai bentuk “ancaman” atau soft invasion terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara. Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Karibia dan Pasifik membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya akan memperlemah perekonomian nasional dan menimbulkan ketidakpastian. Kita juga pernah memiliki pengalaman pahit saat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena Rupiah yang tidak digunakan untuk bertransaksi di sana. Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan tersebut, masyarakat perlu mendukung penggunaan mata uang Rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang Mata Uang No 7 Tahun 2011, dan selanjutnya, Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI.
Menjadikan Rupiah sebagai mata uang yang stabil dan berdaulat memang bukan langkah mudah. Tekanan terhadap Rupiah ditentukan oleh banyak hal. Langkah meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengatasi defisit ekspor-impor barang dan jasa tidak dapat ditawar lagi. Namun di sisi lain, upaya menjadikan Rupiah berdaulat di negeri sendiri juga mutlak perlu didukung. Mata uang Rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Selamat berkarya untuk AJBI (WAW)