Jakarta, CSR INDONESIA – Ada yang baru dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2015. Selain kategori individu, kali ini ada kategori kelompok dalam ajang pemberian apresiasi kepada pemuda-pemudi inspiratif di Indonesia ini.
Mereka adalah para mutiara bangsa yang memiliki semangat sejalan dengan Astra, yakni berkarya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar serta membawa semangat perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Seperti diungkapkan oleh para dewan juri, tahun ini merupakan tahun yang sulit, karena peserta yang terdaftar memiliki kegiatan-kegiatan yang sangat luar biasa hebat. Para juri yang terdiri dari Prof. Emil Salim, Prof. Nila Farid Moeloek, Prof. Fasli Jalal, Tri Mumpuni dan Dr. Onno Purbo membutuhkan diskusi cukup panjang saat menentukan para penerima apresiasi dari setiap bidang, yaitu: Pendidikan, Lingkungan, Usaha Kecil & Menengah, Kesehatan dan Teknologi.
Bahkan di bidang Pendidikan, ada dua penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2015, karena kualitas dan ketulusan dari programnya nyaris sama. “Saya kagum dan salut melihat semangat generasi muda dari seluruh Indonesia dengan segala tantangan yang dihadapi. Mewakili dewan juri, kami cukup sulit dalam menilai penerima apresiasi yang terbaik dari yang terbaik,” ungkap Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nila Moeloek mewakili dewan juri SATU Indonesia Awards 2015 saat menghadiri acara penjurian SATU Indonesia Awards 2015 beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan: “SATU Indonesia Awards tidak hanya memberikan apresiasi, tapi seluruh kerja keras yang telah dilakukan para pemuda-pemudi ini dipublikasikan ke seluruh masyarakat Indonesia. Harapannya, virus-virus kebaikan ini dapat disebarkan dan menginspirasi generasi muda, sehingga nyala lilin-lilin kebaikan di Indonesia semakin terang.” Dalam acara penganugerahan apresiasi SATU Indonesia Awards 2015 (21/10) di gedung Astra International, Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto mengatakan:
“Hari ini, kita kembali menyaksikan hadirnya pejuang-pejuang muda dari pelosok Nusantara. Mereka dengan segenap tenaga dan pikiran telah memberikan kontribusi nyata untuk kemajuan wilayah masingmasing. Mereka adalah pemuda-pemudi terpilih dari tim juri yang berpengalaman dan melewati proses yang sangat panjang.” Ia juga menambahkan: “Saya mengucapkan selamat kepada seluruh penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2015. Teruskan kiprah anda di setiap bidang. Bangsa Indonesia akan terus menunggu hasil karya nyata anda di tiap-tiap daerah.” Senantiasa Memberi Arti bagi Sesama Ada enam orang dan satu kelompok yang menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2015. Mereka adalah pemuda-pemudi berusia di bawah 35 tahun yang telah memberikan kontribusi positif untuk masyarakat di sekitarnya melalui lima bidang yang telah disebutkan sebelumnya. Inilah para mutiara-mutiara bangsa tersebut:
Bidang Pendidikan Tahun ini, ada dua penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2015 di bidang pendidikan. Hal ini karena dewan juri menilai ketulusan dan dampak dari program yang dijalankan sama kuatnya, sehingga keduanya dinilai berhak untuk menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2015. ‘Pembuka Mata’ Tuna Netra, Tutus Setiawan – Surabaya, Jawa Timur Ia adalah Tutus Setiawan (35), penyandang tuna netra sejak usia delapan tahun. Tutus memiliki kepedulian yang cukup mendalam terhadap kemajuan teman-teman sesama tuna netra.
“Saya mendirikan komunitas ini sejak tahun 2003. Waktu itu saya masih kuliah. Saya melihat permasalahan teman-teman disabilitas tunanetra di Surabaya ini sangat banyak, salah satunya kami sering mengalami diskriminasi dalam banyak hal,” ujar Tutus yang kini sudah menyelesaikan pendidikan S2- nya di Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Tak sendirian, Tutus mengajak empat orang temannya sesama tunanetra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi untuk mendirikan LPT (Lembaga Pemberdayaan Tunanetra). Lembaga itu menjadi wadah bagi tunanetra di Surabaya untuk terus belajar dan berlatih meningkatkan kemampuannya agar bisa eksis di masyarakat.
‘Sang Merak’ dari Timur, Risna Hasanudin – Manokwari, Papua Wanita asal Banda Naira, Maluku, bernama Risna Hasanudin ini prihatin dan miris melihat nasib anak-anak Papua, khususnya perempuan Arfak, saat mendatangi Kampung Kobrey, Manokwari, Papua. Kelahiran 1 Februari 1988, perempuan ini merupakan sarjana lulusan FKIP Universitas Pattimura Maluku. Keprihatinannya telah mengantarkan Risna menetap di Kampung Kobrey dan membantu anak-anak dan perempuan Arfak agar tak menjadi generasi tertinggal. Pada September 2014, Risna mendirikan rumah belajar (Rumah Cerdas Perempuan Arfak Papua Barat). Tujuannya, untuk mencerdaskan perempuan Arfak. Kegiatan Risna di Rumah Cerdas Arfak ini adalah mengajar membaca, menulis dan berhitung. Selain itu, Risna juga memberikan pelatihan tentang usaha kecil.
Bidang Lingkungan
Kreator Desa Wisata Tanon, Trisno – Semarang, Jawa Tengah Trisno, pria kelahiran Dusun Tanon, Semarang 12 Oktober 1981 ini memang luar biasa. Ia adalah pemuda pertama di kampungnya yang berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana. Setelah menamatkan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Surakarta, jurusan Sosiologi, Trisno bertekad kembali ke kampungnya yang miskin. Sebagian besar penduduk Dusun Tanon adalah peternak sapi perah dan petani. Tapi Trisno lebih memilih fokus mengembangkan dusunnya dengan beralih ke pariwisata. Terobosan yang ia lakukan dengan mengajak para warga untuk sadar wisata dan mengolah dusun mereka menjadi dusun wisata.
Dalam tiga tahun perjalanannya, Desa Wisata Tanon sudah menghasilkan Rp 250 juta, itu belum termasuk pendapatan perorangan dari hasil penjualan produk mereka.
Bidang UKM
‘Raja Perak’ dari Malang, Faishal Arifin – Malang, Jawa Timur Berbekal ilmu kerajinan perhiasan yang didapat saat merantau ke Kalimantan, membuat Faishal memberanikan diri untuk menawarkan produk kerajinan perhiasan berbahan dasar emas dan perak ke rumah-rumah dan kantor-kantor, dengan hanya bermodalkan katalog pada 2009. Keberhasilannya pada usaha kerajinan perhiasan berbasis hand made itu karena kecerdikan Faishal melihat peluang, selain jiwa kewirausahaannya yang mulai tumbuh sejak di bangku kuliah. Kegigihannya dalam berusaha sebagai entrepreneur muda telah membuahkan hasil, pria berusia 28 tahun ini kini telah memiliki usaha beromzet hingga Rp 350 juta per bulannya.
Bidang Kesehatan
Pelopor Relawan Kesehatan, Dani Ferdian – Bandung, Jawa Barat Dokter Dani Ferdian adalah penggagas Volunteer Doctors (Vol D), sebuah sekolah nurani tenaga kesehatan. Vol D memiliki keunikan tersendiri dibanding lembaga sosial lainnya, karena di sini yang dibangun adalah karakter para calon dokter dan tenaga kesehatan.
Sampai kini sudah ada sekitar 1.000 dokter dan tenaga kesehatan yang tergabung di Vol D sejak dirintis pada 2009. Tujuannya, jika kelak 10 atau 20 tahun kemudian mereka menempati posisi strategis dengan keahliannya masing-masing bisa membuat perubahan nyata. Terutama perubahan dengan mengabdi langsung kepada masyarakat, memiliki jiwa sosial dan kepekaan yang lebih tinggi lagi. Makin banyaknya lintas fakultas dan kampus yang tergabung di Vol D, Dani optimistis Indonesia sehat pada masa datang akan tercapai.
Bidang Teknologi
Penggagas ‘Susu Listrik’, Apriliawan Hadi – Malang, Jawa Timur Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi peternak di kampung halamannya di Desa Sragi, Banyuwangi, Jawa Timur, Apriliawan Hadi mencoba mencari solusi alat yang bisa mengatasi masalah klasik yang dihadapi peternak. Yakni, susu yang tak bertahan lama dan kandungan bakteri patogennya yang bisa menyebabkan penyakit bagi yang mengonsumsinya. Hadi pun terpikir untuk menciptakan alat pasteurisasi.
Akhirnya pada 2007, pria kelahiran 21 April 1989 ini mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian melalui Program Kreatif Mahasiswa (PKM). Akhirnya Hadi berhasil menemukan teknologi pasteurisasi modern berbasis kejut listrik yang dinamai Latte Electricity (LE). Kehadiran alat LE ini membawa harapan baru bagi peternak. Pasalnya, dengan metode kejut listrik hasil susu perah bisa bertahan lebih lama serta kandungan protein dan gizi dalam susu segar hasil perahan peternak tetap terjaga.
Kategori Kelompok,
Bidang Teknologi
Kelompok Grombyang OS Indonesia – Pemalang, Jawa Tengah Saat kelompok ini dibentuk tahun 2012, para pendirinya Sumitro Aji Prabowo adalah seorang mahasiswa semester III, Jordan Andrean duduk di bangku SMK kelas 2 dan Nanda Arfan Hakim duduk di bangku SMK kelas 1.
Berawal dari hobi yang sama mereka membentuk komunitas yang diberi nama Komunitas Pengguna Linux Indonesia (KPLI) pada tahun 2012 yang anggotanya hanya terdiri dari lima orang. Kemudian, komunitas ini berubah nama menjadi Grombyang OS pada tahun 2013.
Dengan adanya Grombyang OS, masyarakat dapat menggunakan sistem ini tanpa membayar, dapat diunduh secara gratis, sehingga tidak perlu menggunakan produk yang selama ini mereka pakai secara sistem, karena itu melanggar hak cipta. Kelebihan lainnya, sistem ini lebih cepat kerjanya dan tidak membutuhkan antivirus.(SUS/ATA)