Di tengah dunia yang kian bising oleh janji-janji susu formula, di mana botol-botol steril menggantikan kehangatan dekapan ibu, ada satu suara yang tetap lantang: suara AIMI. Pada ulang tahunnya yang ke-18, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) tak sekadar merayakan perjalanan panjang, tapi juga menggelar cermin besar ke wajah negeri ini—tentang sejauh apa kita benar-benar melindungi hak paling dasar seorang ibu dan bayi: hak untuk menyusui dan disusui.
CSRINDONESIA – Lahir pada 21 April 2007, AIMI berdiri di tengah gempuran promosi susu formula yang tak kenal etika. Di saat para ibu dibombardir iklan “nutrisi instan” dan janji kecerdasan buatan dalam kaleng, AIMI hadir dengan satu keyakinan: ASI adalah hak asasi.
Tapi, perjuangan mereka bukan tanpa luka. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka pemberian ASI eksklusif nasional sempat menurun drastis dari 64,5% pada 2018 menjadi 52,5% di 2021. Bahkan WHO mencatat hanya 48,6% bayi di Indonesia yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kehidupannya. Angka yang seharusnya membuat kita malu—bukan sekadar prihatin.
Mengapa Menyusui Menjadi Sulit?
“Promosi susu formula tidak hanya menjual produk, tapi juga menjual ilusi,” ungkap Lianita Prawindarti, Sekjen AIMI Pusat dalam seminar daring HUT AIMI ke-18. Ibu-ibu yang baru melahirkan dihadapkan pada influencer bertitel “momfluencer” yang dibayar untuk menceritakan kisah menyusuinya—tentu sambil menyisipkan produk sponsor. Bahkan, tak sedikit tenaga kesehatan yang direkrut menjadi “midfluencer”.
Ketika ruang menyusui minim, cuti melahirkan terbatas, dan promosi sufor hadir nyaris setiap hari di layar ponsel, bagaimana seorang ibu bisa bertahan menyusui? AIMI menyebut fenomena ini sebagai pengaburan pilihan—karena sesungguhnya, pilihan hanya bisa dilakukan jika informasi dan dukungan tersedia secara setara.
Regulasi: Banyak Tapi Mandul?
Secara formal, Indonesia punya banyak regulasi: UU No. 17/2023 tentang Kesehatan, UU No. 4/2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, hingga PP No. 28/2024 yang mengatur pemasaran produk pengganti ASI. Namun, sebagaimana ditunjukkan Irma Hidayana dari pelanggarankode.org, pelanggaran terhadap kode pemasaran tetap marak terjadi. Bahkan, promosi silang dan pemberian “hadiah” kepada tenaga medis masih dianggap wajar
.
Lebih parah lagi, ketentuan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM)—yang dulu menjadi standar pelayanan rumah sakit—telah dihapus dari regulasi terbaru. Ironis, ketika negara mengakui pentingnya ASI, tapi tak menyediakan mekanisme yang cukup untuk melindunginya.
Pelanggarankode.org: Senjata Rakyat Melawan Komersialisasi
Tahun 2021, Irma Hidayana meluncurkan platform PelanggaranKode.org—sebuah situs crowdsourcing tempat masyarakat bisa melaporkan pelanggaran promosi produk pengganti ASI secara real-time. Dengan dukungan UNICEF dan organisasi masyarakat sipil, termasuk AIMI, platform ini menjadi tameng sipil terakhir yang tersisa. Kementerian Kesehatan pun dikabarkan akan mengadopsi sistem ini sebagai alat pemantau nasional.
